TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah resmi merilis dokumen Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja alias Perpu Cipta Kerja. Perpu ini menuai kritik dan Presiden Joko Widodo atau Jokowi dianggap telah melecehkan Putusan Mahkamah Konstitusi atau MK.
Perpu ini berisi 1.117 halaman. Jumlah ini lebih sedikit dari UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi atau MK yaitu 1.187 halaman.
Dalam poin pertimbangan, disebutkan 7 alasan penerbitan Perpu. Salah satunya karena ada dinamika global yang disebabkan terjadinya kenaikan harga energi dan pangan, perubahan iklim, dan terganggu rantai pasokan. Kondisi ini dinilai telah menyebabkan terjadinya penurunan pertumbuhan ekonomi dunia.
"Dan terjadinya kenaikan inflasi yang akan berdampak secara signifikan kepada perekonomian nasional," demikian bunyi poin g pada bagian pertimbangan di Perpu ini.
Sehingga, kondisi ini harus direspons dengan standar bauran kebijakan untuk peningkatan daya saing dan daya tarik nasional bagi investasi. "Melalui transformasi ekonomi yang dimuat dalam
Undang-Undang tentang Cipta Kerja," demikian bunyi poin yang sama.
Alasan kegentingan
Selain itu, masih ada pertimbangan lain yang kemudian dianggap pemerintah menjadi alasan Perpu harus diterbitkan. "Telah
memenuhi parameter sebagai kegentingan memaksa," demikian bunyi poin huruf h.
Sebelumnya pada 25 November 2021, MK memutuskan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau UU Cipta Kerja cacat secara formil. Lewat Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, Mahkamah menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan meminta pemerintah memperbaikinya paling lama dalam 2 tahun.
Bukannya memperbaiki UU, Jokowi malah menerbitkan Perpu Cipta Kerja pada 30 Desember dengan alasan ada kegentingan yang memaksa untuk mengantisipasi ancaman krisis ekonomi. Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud Md menyebut Perpu ini alasan kegentingan memaksa untuk penerbitan Perpu sudah terpenuhi, sesuai dengan Putusan MK Nomor 38/PUU7/2009.
Dikecam banyak pihak
Tindakan Jokowi ini dikecam banyak pihak. Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana menilai Jokowi telah melakukan Contempt of the Constitutional Court. "Presiden telah melakukan pelecehan atas putusan, dan kelembagaan Mahkamah Konstitusi (MK)," kata dia.
Direktur Lembaga Bantun Hukum atau LBH Jakarta Citra Referandum menganggap Perpu ini menunjukkan wajah kediktatoran pemerintahan Jokowi dalam praktik legislasi. "Karena tidak dilatarbelakangi keadaan genting yang memaksa dalam menjalankan kehidupan bernegara," kata dia.
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menilai Perpu ini sebagai bentuk pembangkangan, pengkhianatan atau kudeta terhadap konstitusi Indonesia. "Merupakan gejala yang makin menunjukkan otoritarianisme pemerintahan Joko Widodo," kata ujarnya.
Pengajar Sekolah Tiggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti, melihat Jokowi ingin mengambil jalan pintas dengan penerbitan Perpu. "Supaya keputusan politik pro pengusaha ini cepat keluar, menghindari pembahasan politik dan kegaduhan publik. Ini langkah culas dalam demokrasi. Pemerintah benar-benar membajak demokrasi," kata dia.
Soal kegentingan yang memaksa, Jokowi menjawab bahwa Perpu ini diterbitkan karena ada ancaman-ancaman resiko ketidakpastian global. Jokowi menyebut kondisi saat ini memang terlihat normal. Akan tetapi, Jokowi mengklaim bahwa Indonesia diintip oleh ancaman-ancaman ketidakpastikan global.
"Karena ekonomi kita di 2023 sangat tergantung investasi dan ekspor," ujar Jokowi.
Baca: Penerbitan Perpu Cipta Kerja, Politikus PKS: Dalih Kondisi Global Mengada-ada