TEMPO.CO, Jakarta - The Economist Intelligence Unit (The EIU) merilis hasil penelitian indeks demokrasi global. Indonesia dalam penelitian tersebut berada di peringkat 64 secara global dan ada diurutan ke11 di regional Asia dan Australia. Mereka menyoroti isu penghapusan sistem pemilihan presiden langsung.
Pemilu digelar pada April 2019, Joko Widodo kembali untuk periode keduanya. “Terdapat perkembangan yang mengganggu, beberapa politisi senior mendorong penghapusan Pemilu langsung." EIU menulis dalam laporan penelitian berjudul 'Democracy Index 2019: A Year of Democratic Setbacks and Popular Protest', dikutip Kamis 23 Januari 2020.
EIU menggunakan lima instrumen penilaian yakni: Proses Pemilu dan Pluralisme; Fungsi Pemerintah; Partisipasi Politik; Budaya Politik; dan Kebebasan Sipil.
Indonesia mendapat nilai 7.92 untuk Proses Pemilu dan Pluralisme, 7.14 Fungsi Pemerintah, 6.11 Partisipasi Politik, 5.63 Budaya Politik, dan 5.59 Kebebasan Sipil. Total, Indonesia mendapat nilai 6.48 dan digolongkan pada kategori flawed democracies atau demokrasi cacat.
Sebelumnya mengemuka isu masa jabatan dan mekanisme pemilihan presiden. Isu ini muncul berkaitan dengan rencana amandemen Undang-Undang Dasar 1945, dan pengembalian Garis-garis Besar Haluan Negara atau GBHN.
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) belakangan getol menyambangi organisasi masyarakat untuk membicarakannya. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) merupakan salah satu yang menyetujui gagasan itu.
Ketua MPR Bambang Soesatyo menyebut Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengusulkan pemilihan presiden kembali ke MPR ketika Pimpinan MPR bertandang ke kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Rabu 27 November 2019. "PBNU sejak 2012 sudah fokus mengembalikan pemilihan secara tidak langsung. Usulan PBNU tersebut patut dihormati dan bahkan menarik dikaji lebih mendalam," ujar Bambang dalam keterangan tertulis pada Rabu, 27 November 2019.