TEMPO.CO, Jakarta - Buruh wanita masih menjadi korban pelecehan seksual, dari pelecehan secara verbal hingga nonverbal. Banyak di antaranya juga masih enggan dan merasa tabu untuk melapor.
"Jadi memang pengetahuan di buruh perempuan sendiri masih minim, apa saja bentuk-bentuk pelecehan seksual, mengapa itu bisa terjadi," kata Jumisih, Ketua Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP), saat ditemui di gedung LBH, Jakarta Timur, pada Selasa, 6 Maret 2018.
Baca juga: Wali Kota Risma Geram Ada Pelecehan Seksual di National Hospital
Riset pada 2017 yang dilakukan Perempuan Mahardhika dan FBLP di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung, Jakarta Utara, menunjukkan 93,6 persen dari 437 korban pelecehan tidak melaporkan. Dari 773 buruh, terdapat 56,5 persen yang pernah mengalami pelecehan seksual.
Alasan-alasan untuk tidak melaporkan yang sering dilontarkan para korban pelecehan seksual, antara lain menganggap bahwa hal tersebut biasa dan wajar terjadi, malu, risiko kerja, kurangnya akses informasi, repot, dan bukan hal serius.
Relasi kuasa juga menjadi salah satu persoalan korban tindakan seksual enggan untuk melapor. "Ada juga seperti para atasan itu yang mengajak kencan dengan ancaman. Ini tidak berimbang ya. Artinya, ada relasi kuasa antara si korban dan pelaku karena mereka kan juga punya kuasa, jadi kalau tidak mau diajak kencan, mereka diputus kontrak," kata Jumisih.
Tak hanya atasan, pelakunya pun variatif, dari rekan kerja, supervisor, hingga bagian mekanik. Hasil riset juga menunjukkan bahwa bentuk pelecehan yang paling banyak dilakukan adalah ejekan terhadap tubuh, rayuan seksual, sentuhan seksual, tubuh dipepet, tubuh disentuh, siulan, dan bagian bokong diraba.
Oleh karena itu, Jumisih menyampaikan bahwa sangat dibutuhkan edukasi, baik untuk para buruh perempuan di pabrik, maupun untuk pekerja lainnya, terkait dengan kesadaran akan pelecehan seksual.
"Pelecehan seksual masih menjadi permasalahan utama yang masih belum mendapat perhatian," kata Jumisih.
FADIYAH