TEMPO.CO, Jakarta - Komite Pemilih Indonesia (Tepi Indonesia) menilai Peraturan KPU atau PKPU Nomor 8 Tahun 2024 agak dipaksakan sehingga diduga sarat dengan pengaruh kepentingan politik praktis. Ini disebut seakan-akan mengulang kasus Putusan MK terkait usia Capres-Cawapres dalam Pilpres 2024 lalu.
“Kita agak heran juga ketika KPU menerima dan memasukan putusan MA itu dalam PKPU diatas. Padahal lebih kuat alasan bagi KPU untuk menunda mengakomodir Putusan MK tersebut,” kata Koordinator Tepi Indonesia Jeirry Sumampow dalam siaran pers yang diterima Tempo.
PKPU Nomor 8 Tahun 2024 sebelumnya telah ditandatangani oleh Ketua KPU Hasyim Asy'ari pada Senin, 1 Juli 2024. Perubahan itu diteken karena adanya putusan Mahkamah Agung (MA) No. 23/P/HUM/2024. MA mengubah syarat usia pencalonan tidak lagi dihitung pada saat pendaftaran paslon, tetapi ditarik ke belakang, yakni "terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih".
KPU pun mengakomodir putusan MA tersebut dalam PKPU Nomor 8 Tahun 2024 dalam pasal 15 yang menyebut bahwa syarat usia paling rendah adalah 30 tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 tahun tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Walikota dan Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 atau (2) huruf d terhitung sejak pelantikan Pasangan Calon terpilih.
Jeirry menilai putusan MA tersebut melampaui kewenangan MA. Dia mengatakan mestinya MA menguji PKPU berdasarkan UU, tapi MA justru mengujinya dari UUD. Jeirry juga menyebut hal ini memunculkan ketidakpastian hukum sebab pelantikan bukan kewenangan KPU, melainkan pemerintah.
“Putusan MA itu juga keluar ketika tahapan pencalonan perseorangan sedang berlangsung, bahkan ketika paslon perseorangan sudah selesai menyerahkan syarat-syaratnya sehingga dinilai akan menimbulkan ketidakadilan, ketidaksetaraan dan diskriminatif,” kata Jeirry.
Jeirry menyebut ada beberapa persoalan krusial akan muncul jika KPU tetap memaksa menggunakan PKPU tersebut ke depan. Pertama, tahapan Pilkada akan terganggu sebab hingga kini belum bisa dipastikan kapan waktu pelantikan akan dilakukan sementara pendaftaran paslon usulan parpol akan berlangsung akhir Agustus.
Belum lagi kerumitan mencari formula teknis tentang jadwal yang pas untuk pelantikan. Ini disebut bisa jadi ruang intervensi pemerintah terhadap KPU. Lembaga tersebut bisa saja disandera atau tersandera oleh pemerintah dalam soal ini
Kedua, dengan PKPU ini KPU dinilainya sudah melakukan diskriminasi, tak adil dan tak setara terhadap calon perseorangan. Sebab ada penggunaan persyaratan yang berbeda dalam pencalonan. Hal ini bisa berpotensi untuk digugat, baik gugatan proses maupun sengketa hasil di MK nantinya.
Ketiga, ada opsi tahapan pencalonan perseorangan dibuka kembali. Artinya yang sebelumnya sudah berlangsung, dibatalkan dan diulang kembali. Ini disebut terlalu riskan dan beresiko terkait waktu mengingat proses pemungutan suara tetap jatuh pada 27 November 2024.
Oleh karena itu, Jeirry menyarankan KPU memikirkan kembali pemberlakuan PKPU tersebut. Hal ini juga mengingat masih adanya ketidaksetujuan dari DPR sehingga bisa dijadikan alasan untuk menarik kembali PKPU tersebut.
Pilihan editor: Komisi II DPR Akan Panggil KPU Karena Terbitkan PKPU Tanpa Konsultasi