TEMPO.CO, Jakarta - Sejarawan Sobana Hardjasaputra mengaku prihatin dengan kualitas buku-buku sejarah di sekolah tingkat menengah dan tas. "Banyak kesalahan fatal terkait data dan penceritaan peristiwa sejarah tertentu, yang kerap luput dari koreksi," katanya, Senin, 12 November 2012.
Sobana mencontohkan, buku sejarah yang sudah terbit menulis bahwa Kerajaan Majapahit beribukota di Sumenep. "Itu kan jelas salah," ujarnya. Atau istilah Prabu Siliwangi ditulis sebagai salah satu raja kerajaan sunda. "Padahal, nama Prabu Siliwangi tidak pernah ada dalam daftar nama raja-raja sunda. Yang benar, itu adalah julukan bagi raja-raja sunda. "
Dia menilai, kesalahan tersebut karena banyak sejarawan yang ceroboh dan bersikap munafik akan fakta sejarah. Buku sejarah di garap dengan sistem tender, sehingga penerbit asal saja memilih penulisnya.
Padahal, sistem tender yang melibatkan para penerbit itu, kata Sobana, malah berujung pada tujuan profit oriented. "Kejar setoran, dalam pengerjaan proyek buku, membuat penerbit sembarangan memilih penulis dan penyusun buku," kata Sobana yang mengaku pernah terlibat tim yang koreksi buku sejarah di Pusat Perbukuan Nasional.
Menurut dia, dari sekian banyak buku sosial yang ditelti, yang paling banyak kesalahan adalah buku sejarah. “Penulisannya asal-asalan, tidak berdasarkan kajian, kondisi ini akan lebih parah jika gurunya tidak kritis,” kata Sobana.
Sobana mengatakan, guru sejarah itu dituntut untuk memberikan penjelasan tidak hanya apa, kapan dan siapa. Tapi juga bagaimana dan mengapa. "Ini agar anak didik mengerti sejarah, belajar moral dari kajian sejarah," katanya.
SONIA FITRI |ENI S