TEMPO Interaktif, Jakarta – Dua lembaga swadaya masyarakat yang aktif dalam isu lingkungan hidup mengumumkan dua nama gembong kayu ilegal. Dalam laporan kepada pers di Jakarta, Kamis (5/8), Environmental Investigation Agency (EIA) dan Telapak juga mengungkap upaya perdagangan kayu merbau asal Papua secara ilegal yang melibatkan aparat pemerintah.
Investigator dari Telapak, Hapsoro menyatakan pihaknya dalam investigasi pada 2009-2010 menemukan adanya praktik ilegal perdagangan kayu internasional. Menurut dia, ada dua nama warga negara Indonesia yang menjadi gembong perdagangan ilegal tersebut. Dua nama tersebut teridentifikasi bernama Ricky Gunawan pengusaha asal Surabaya dan Hengky Gosal pengusaha asal Makassar. “Mereka adalah pelaku utama,” ujar Hapsoro.
Menurut Hapsoro, berdasarkan data yang diperoleh dari investigasi kedua LSM itu menemukan ada perdagangan sekitar 50 kontainer balok kayu merbau setiap bulannya ke Cina. Dalam satu kontainer berisi 120 potong kayu merbau dengan volume 350 meter kubik.
Menurut dia, dari dokumen pengiriman yang disita pada Oktober 2009 di Pelabuhan Tanjung Priok, menunjukkan pengirim berasal dari Makassar. Kayu tersebut akan dikirim ke tiga perusahaan dari tiga negara berbeda, India, Cina, dan Korea. “Hampir seperempat hutan Papua habis dalam 12 tahun terakhir,” kata Hapsoro.
Menurut Direktur EIA, LSM asal Inggris, Julian Newman, laporan kepada pihak berwenang di Indonesia sudah dilakukan oleh kedua LSM itu. Bea Cukai, kepolisian, Kementerian Perdagangan, aparat pemerintahan setempat seperti DPRD dan pegawai pemerintahan daerah sudah dilaporkan.
Namun, lanjut dia, pada Desember 2009 berdasarkan pantauan kedua LSM ini, dua gembong kayu ilegal itu masih bisa melakukan transaksi internasional ke selatan Cina. Oleh karenanya, kata dia, kedua LSM tersebut terakhir memberikan laporan pengaduan kepada Komisi Pemberantsan Korupsi (KPK). “Ada indikasi korupsi dalam perdagangan ilegal kayu merbau ini,” ujarnya.
Dari investigasi yang dilakukan, kedua LSM ini kemudian mendesak pemerintah Indonesia untuk meninjau kembali Instruksi Presiden nomor 4 tahun 2005 soal pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di wilayah hutan Indonesia. Sebab, kata Hapsoro, banyak bukti penegak hukum gagal berkoordinasi secara efektif memberantas pembalakan liar. “Pemerintah harus menginvestigasi kedua nama yang kami sodorkan itu,” katanya.
SANDY INDRA PRATAMA - TNR