TEMPO.CO, Jakarta - Ketua IM57+ Institute, Praswad Nugraha, menilai Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat sudah melakukan "korupsi legislasi" karena menafsirkan berbeda putusan Mahkamah Konstitusi dalam membahas perubahan keempat Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah. Padahal Baleg seharusnya mengakomodasi sepenuhnya putusan Mahkamah Konstitusi tanpa perlu mengubah maupun menentangnya.
“MK hadir untuk menjaga agar tidak ada undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi," kata Praswad lewat keterangan tertulis, Rabu, 21 Agustus 2024.
Mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi ini menilai hasil pembahasan Panitia Kerja Baleg tentang revisi UU Pilkada bertolak belakang dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Ia menilai respons DPR kali ini terhadap putusan MK berbeda jauh ketika Mahkamah Konstitusi mengubah ketentuan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilihan Presiden. Perubahan syarat usia calon presiden dan wakil presiden pada Pasal 169 tersebut yang memuluskan langkah Gibran Rakabuming Raka –putra sulung Presiden Joko Widodo—menjadi calon wakil presiden.
Namun, kata Praswad, DPR bergegas merespons putusan MK soal Pasal 40 dan Pasal 7 ayat 2 huruf e UU Pilkada dengan jalan mengubah Undang-Undang Pilkada. Pasal 40 itu yang mengatur ambang batas pencalonan kepala daerah dan wakil kepala dearah. Lalu Pasal 7 ayat 2 huruf e mengatur batas usia minimal calon gubernur dan wakil gubernur.
"Ini menunjukan bahwa selera penguasa menjadi penentu sehingga prinsip-prinsip legislasi tidak lagi sesuai dengan prinsip demokratis sehingga menimbulkan 'korupsi legislasi'," ujar Praswad.
Ia pun mengajak masyarakat agar melawan putusan Baleg DPR tersebut. Praswad melihat tindakan DPR sudah membajak nilai-nilai reformasi.
Panja Baleg baru saja selesai membahas perubahan keempat Undang-Undang Pilkada. Revisi ini merupakan respons Baleg terhadap putusan Mahkamah Konstitusi mengenai uji materi Pasal 40 UU Pilkada dan Pasal 7 ayat 2 huruf e UU Pilkada yang dibacakan, Selasa lalu. Namun Baleg tak mengakomodasi secara utuh putusan MK tersebut.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah. Awalnya, ambang batas pencalonan yaitu didukung minimal 20 persen partai politik pemilik kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Lalu ambang batas itu diubah menjadi didukung oleh partai politik dengan perolehan suara antara 6,5 sampai 10 persen dari total suara sah. Angka persentase dukungan partai ini disesuaikan dengan jumlah penduduk di provinsi, kabupaten, maupun kota. Mahkamah Konstitusi juga memutuskan syarat calon gubernur dan wakil gubernur minimal berusia 30 tahun terhitung sejak pendaftaran pasangan calon.
Namun, Baleg menyiasati keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Dalam perubahan Pasal 7 ayat 2 huruf e UU Pilkada, Panja Baleg merumuskan batas usia calon gubernur dan wakil gubernur minimal 30 tahun terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih. Selanjutnya, rumusan Panja Baleg terhadap Pasal 40 UU Pilkada adalah mengatur ambang batas pencalonan sebesar 6,5 sampai 10 persen suara sah hanya berlaku bagi partai politik non-kursi di DPRD. Sedangkan ambang batas pencalonan bagi partai pemilik kursi di DPRD adalah sebesar 20 persen dari jumlah kursi di Dewan atau 25 persen dari perolehan suara sah.
Sesuai dengan agenda DPR, rapat paripurna DPR akan menggelar rapat paripurna untuk mengesahkan rancangan perubahan keempat UU Pilkada itu manjadi undang-undang, Kamis besok.
Pilihan Editor: Setelah MK Mengubah Syarat Pencalonan Pemilihan Kepala Daerah