INFO NASIONAL - Ketua MPR ke-16 Bambang Soesatyo atau biasa disapa Bamsoet, mendorong amandemen atau Perubahan Ke-5 UUD NRI 1945. Ada berbagai faktor yang menyebabkan amandemen itu sangat penting dijalankan.
Alasan pertama, sejumlah akademisi menilai UUD 45 yang mengalami amandemen empat kali tidak berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Pernyataan itu muncul saat sarasehan kebangsaan pada 2014 di Universitas Gadjah Mada.
Pernyataan itu merupakan disuarakan oleh Ketua PSP UGM Prof. Dr. Sudjito, tokoh masyarakat Prof. Dr. Ahmad Safii Maarif, Guru Besar Ilmu Filsafat UGM Prof. Dr. Kaelan, dan Sosiolog UGM Prof. Dr. Sunyoto Usman.
Mereka mengaku menemukan inkonsistensi, kontradiksi, dan ketidakselarasan antar pasal dan ayat dalam berbagai perubahan konstitusi tersebut.
Menurut Bamsoet, salah satu dampaknya terlihat pada pergeseran dari sistem keterwakilan ke sistem keterpilihan yang menjadi salah satu faktor penyebab negara terjebak pada kekuasaan oligarki.
“Praktik penyelenggaraan memang sudah lebih berorientasi pada demokrasi dan hukum, namun mengabaikan pembangunan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utama. Tidak heran jika kini banyak kalangan mengusulkan adanya perubahan kelima terhadap konstitusi. Dalam salah satu rekomendasi MPR 2019-2024 kepada MPR periode 2024-2029, juga akan memuat tentang pentingnya dilakukan kajian mendalam dan menyeluruh terhadap UUD NRI Tahun 1945," ujar Bamsoet Saat Sosialisasi Empat Pilar MPR RI bersama Yayasan Jimly School of Law dan mahasiswa lintas kampus, di Jakarta, Kamis, 12 September 2024.
Hadir antara lain, Ketua Forum Aspirasi Konstitusi/Anggota MPR/DPD RI Prof. Dr. Jimly Ashiddiqie, Ketua Yayasan Jimly School of Law and Government Muzayyin Machbub, Budiman Tanuredjo serta Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun.
Bamsoet melanjutkan, dalam melakukan kajian menyeluruh terhadap UUD NRI Tahun 1945, MPR periode 2024-2029 bisa mengajak praktisi dalam Jimly School of Law. Terdapat banyak hal yang perlu dibenahi, misalnya terkait sejauh mana efektivitas penerapan pilkada langsung dalam kehidupan demokrasi Pancasila. Termasuk mengkaji langkah apa saja yang perlu dilakukan untuk menekan money politic dan high cost politic dalam pileg dan pilpres langsung.
Mekanisme pilkada dan pileg berbeda dengan pemilihan presiden yang oleh konstitusi diamanatkan agar dipilih langsung oleh rakyat, sebagaimana tercantum dalam pasal 6A ayat (1) bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.
Untuk Pilkada, amanat konstitusi dalam pasal 18 ayat 4 UUD 45 menyatakan bahwa gubernur, bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Sedangkan untuk pileg, konstitusi mengamanatkan dalam pasal 19 ayat (1) bahwa anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum.
"Kita perlu mengkaji tafsir terhadap konstitusi tersebut, apakah bisa mengembalikan pemilihan kepala daerah melalui DPRD, serta pileg dengan sistem tertutup seperti dahulu. Atau mengkombinasikannya dengan sistem terbuka dan tertutup, sehingga meminimalisir terjadinya korupsi, money politic, dan high cost politic," jelas Bamsoet.
Selain itu, ia mengingatkan bahwa konstitusi yang bangsa Indonesia bangun dan perjuangkan adalah konstitusi yang 'hidup' (living constitution), yang mampu menjawab segala tantangan dan dinamika zaman. Sekaligus konstitusi yang 'bekerja' (working constitution), yang dapat dijadikan rujukan, dilaksanakan, dan memberi kemanfaatan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Agar 'hidup' dan 'bekerja', konstitusi tidak boleh 'anti' terhadap perubahan. Mengingat perubahan zaman adalah sebuah keniscayaan yang tidak akan mungkin dihindarkan. Sebagai perbandingan, Amerika Serikat telah melakukan 27 kali amandemen, dan India 104 kali amandemen.
Bamsoet memberi contoh, saat sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945, Bung Karno menegaskan bahwa UUD dapat diubah oleh generasi yang akan datang jika dirasa perlu. Dalam pandangan Bung Karno, UUD bukanlah sesuatu yang tidak dapat diubah, melainkan sebuah landasan yang dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan bangsa.
“Hal ini mencerminkan pemikiran progresif Bung Karno bahwa konstitusi harus fleksibel dan responsif terhadap perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang terjadi di masa depan," pungkas Bamsoet. (*)