TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Imparsial Al Araf mengatakan ada beberapa pasal yang perlu dihapus atau ditinjau ulang dalam pembahasan Revisi Undang-Undang tentang Tindak Pidana Terorisme. Bila disahkan, RUU itu berpotensi terjadinya penyalahgunaan wewenang dari aparat penegak hukum.
Araf mengkritisi dimasukannya keterlibatan Tentara Nasional Indonesia dalam penanganan terorisme. Menurut dia aturan pelibatan militer sudah diatur dalam pasal 7 ayat 2 dan 3 Undang-Undang TNI. “Sehingga tidak perlu lagi dengan UU Terorisme,” katanya di Gedung DPR, Jakarta, Kamis, 9 Juni 2016.
Pimpinan sidang rapat dengar pendapat umum panitia khusus pembahasan RUU Terorisme Hanafi Rais menambahkan keterlibatan TNI menjadi relevan bila aksi teroris sudah mengarah pada makar. “Kalau tidak sampai ke sana, perlu diatur undang-undang atau Perppu,” tuturnya.
Araf juga meminta dalam revisi undang-undang ini menambahkan kewajiban izin dari pengadilan negeri, bila aparat atau penyidik ingin menyadap. Dalam pasal 31 draft RUU Terorisme berbunyi penyidik berwenang menyadap untuk mengetahui jaringan terorisme.
Selain itu, pasal yang minta dihapus ialah pasal 13A yang terkait penyebaran kebencian. Araf menilai harus diatur lebih ketat dengan menganut prinsip-prinsip konvensi hak sipil, politik dan penghormatan Hak Asasi Manusia. “Supaya tidak membatasi kebebasan berekspresi,” kata dia.
Araf menuturkan masa perpanjangan penahanan tersangka teroris juga harus diatur dengan mekanisme kontrol. Ia menilai secara umum masa penahanan yang ada dalam Undang-Undang Terorisme saat ini sudah cukup. Merujuk di Perancis, di sana ada hakim komisaris yang tiap pekan menilai perlu atau tidaknya penahanan seorang tersangka. “Kalau di Indonesia evaluasinya oleh Komnas HAM, DPR dan pemerintah,” paparnya.
Terakhir, Araf juga meminta pasal ‘Guantanamo’ yaitu pasal 43A dihapus. Pasal ini berbunyi penyidik atau penuntut umum dapat mencegah setiap orang tertentu yang diduga akan melakukan aksi terorisme untuk dibawa ke suatu tempat paling lama enam bulan.
AHMAD FAIZ