TEMPO.CO, Jakarta - Imparsial mengkritik rencana pemerintah mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN). Pasalnya, aturan pelaksana dari revisi Undang-Undang ASN tersebut juga membahas jabatan ASN yang bisa diisi oleh prajurit TNI dan personel Polri, dan sebaliknya.
"Kami memandang bahwa jika pengaturan teknis tentang penempatan TNI dan Polri aktif benar diakomodir dalam PP tersebut, jelas hal itu akan mengancam demokrasi karena melegalisasi kembalinya praktik dwifungsi ABRI seperti pada masa otoritarian Orde Baru," kata Direktur Imparsial Gufron Mabruri melalui keterangan tertulis, Kamis, 14 Maret 2024.
Gufron menuturkan, TNI merupakan alat pertahanan negara yang bertugas menghadapi ancaman perang, sedangkan Polri bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) dan penegakan hukum.
Menurutnya, kedua lembaga itu sepatutnya dan seharusnya tidak terlibat dalam kegiatan politik dan menduduki jabatan-jabatan sipil karena itu bukan fungsi dan kompetensinya. "Penempatan TNI dan Polri di jabatan sipil merupakan sesuatu yang menyalahi jati diri mereka," ujar Gufron.
Imparsial memandang salah satu amanat reformasi adalah mencabut peran TNI dan Polri dalam urusan politik, dan mengembalikan fungsi mereka menjadi militer dan penegak hukum profesional. Karena itu, rencana penyusunan PP Manajemen ASN itu makin membuktikan bahwa kebijakan pemerintah saat ini sudah melenceng jauh dan bertolak belakang dengan semangat reformasi. "Penting untuk diingat, penghapusan dwifungsi ABRI (TNI dan Polri) merupakan bagian dari agenda demokratisasi tahun 1998," kata Gufron.
Gufon mengatakan penghapusan tersebut tidak sekadar bentuk koreksi terhadap penyimpangan fungsi dan peran ABRI yang lebih sebagai alat kekuasaan di masa otoritarian, namun untuk mendorong terwujudnya TNI yang profesional dan secara lebih luas lagi merupakan bagian dari agenda pembangunan demokrasi di Indonesia.
Adapun salah satu praktik dwifungsi ABRI yang dihapus adalah penempatan anggota TNI dan Polri aktif pada jabatan-jabatan sipil, baik di kementerian, lembaga negara maupun pemerintah daerah. Kendati demikian, terdapat pengecualian yakni bagi militer aktif hanya dapat menduduki jabatan-jabatan yang memiliki keterkaitan dengan fungsi pertahanan, seperti Kementerian Pertahanan, Kemenkopolhukam, Sekmil Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lemhanas, Dewan Pertahanan Nasional, Narkotika Nasional dan Mahkamah Agung sebagaimana Pasal 47 ayat 2 UU TNI.
"Kami menilai bahwa dalam upaya menjaga dan mendorong pemajuan sistem dan praktik demokrasi di Indonesia, peran sosial-politik ABRI (TNI dan Polri) yang telah dihapuskan pada tahun-tahun transisi politik 1998 menjadi penting untuk dijaga dan dipertahankan," tutur Gufron. "Pada konteks ini, penting bagi elit politik untuk tidak membuka ruang dihidupkannya kembali praktik politik era otoritarian tersebut."
Gufron juga mengatakan wacana penempatan TNI-Polri dalam jabatan sipil adalah siasat untuk melegalisasi kebijakan yang selama ini keliru. Sebagai contoh, banyaknya anggota TNI-Polri aktif yang saat ini menduduki jabatan-jabatan sipil, seperti di Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, bahkan di Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Kemenhan RI saja, kata Gufron, mencatat bahwa pada 2019 terdapat 1.592 prajurit TNI menjabat jabatan sipil dan 29 di antaranya ilegal karena di luar dari yang dibolehkan oleh UU TNI. Hal itu masih belum ditambah catatan Ombudsman RI yang mencatat setidaknya terdapat 27 anggota TNI aktif menjabat di BUMN.
"Bahkan, belakangan ini sudah ada perwira TNI aktif yang menduduki jabatan kepala daerah, seperti di Kabupaten Seram Bagian Barat. Data-data tersebut belum ditambah dengan jumlah anggota Polri di jabatan sipil dan BUMN yang tidak diketahui jumlah pastinya," ungkap Gufron.