TEMPO.CO,Tegal--Ujung kain sarung nenek Meri masih basah saat Tempo bertandang ke rumahnya di Jalan TK Pertiwi, RT 4 RW II, Kelurahan Kemandungan, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal, pada Ahad kemarin. “Meski sudah tua, saya masih bisa mencuci baju sendiri,” kata perempuan berumur 85 tahun itu dengan bahasa Tegalan.
Belakangan ini, Meri menjadi buah bibir sebagian warga Kota Tegal dan sekitarnya. Sebab, nenek enam cucu dan empat cicit itu beberapa kali muncul di berita televisi. Dianggap meresahkan masyarakat karena memproduksi petasan di rumahnya, Meri dituntut penjara 5 bulan dalam masa percobaan 10 bulan.
Dalam perbincangan di warung-warung tegal (warteg), nasib Meri disandingkan dengan Asyani, 63 tahun, nenek asal Situbondo, Jawa Timur, yang juga diseret ke pengadilan karena tuduhan mencuri kayu jati milik Perhutani. “Ini salah satu bukti bahwa hukum hanya tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas,” kata Sudarso, 45 tahun, tetangga Meri.
Penasehat hukum Meri, Joko Santoso, mengatakan kliennya ditangkap anggota Kepolisian Resor Tegal Kota pada 12 Juni 2014. Saat itu, polisi menyita 3.100 petasan jenis leo, satu meter petasan renteng, 9 kilogram bahan pembuat petasan, dan tujuh ikat kelontong petasan yang masih kosong.
“Mereka (sebagian warga Kemandungan) membuat petasan turun-temurun, tiap menjelang Lebaran,” kata Joko pada Jumat pekan lalu. Para pembuat petasan itu, ujar dia, tidak tahu kalau pekerjaannya bisa dijerat dengan Undang Undang Darurat RI Nomor 12 Tahun 1951 dengan ancaman yang cukup berat.
Meri dijerat Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1951 yang mengatur tentang penyimpanan atau penyembunyian senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak tanpa hak. Ancaman bagi pelanggarnya tidak main-main, yaitu hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara maksimal 20 tahun.
DINDA LEO LISTY