TEMPO Interaktif, Jakarta - Anggota Komisi I dari Fraksi Partai Demokrat, Yahya Sacawirya menyatakan Fraksi Partai Demokrat telah menyetujui Badan Intelijen Negara diberikan kewenangan menyadap tanpa melalui izin pengadilan. Mereka juga menyepakati pemberian kewenangan lembaga telik sandi itu untuk melakukan penangkapan. "Mekanisme pengadilan sudah tak relevan dengan kondisi saat ini yang sangat dinamis," katanya saat dihubungi Tempo, Ahad 27 Maret 2011
Menurut Yahya, pengadilan dalam memutuskan sebuah kasus memerlukan waktu berminggu-minggu. " Kalau seperti itu, orang yang mau disadap bisa kabur duluan," ujarnya. Menurutnya, kewenangan penyadapan harus diberikan untuk menindaklanjuti penyelidikan awal yang dilakukan oleh BIN. "Karena mereka harus segera tanggap terhadap hasil penyelidikan awal, jika memang ditemukan adanya bukti kuat seseorang itu mengancam keamanan negara," jelasnya.
Demikian juga untuk penangkapan. Purnawirawan TNI bintang dua ini, menganggap bahwa penangkapan orang perlu dilakukan dalam rangka pencegahan. "Karena logika BIN ini tidak sama seperti logika penegakan hukum," ujarnya. Ia menjelaskan, jika dalam logika hukum, seseorang belum bisa ditindak sebelum ia melakukan pelanggaran. Namun, untuk melakukan tindak pencegahan diperlukan penangkapan sebelum seseorang itu melakukan sebuah tindakan. "Tapi harus dengan bukti yang kuat atau A1 dalam bahasa intelijennya," ujar Yahyaa. Ia mengatakan, memahami penolakan-penolakan yang terjadi. Karena itu, mekanisme pengawasan tetap dilakukan. "Bukan oleh pengadilan tetapi melalui komisi khusus yang nanti dibentuk," jelasnya. Ia juga mengatakan, kegiatan penyadapan dan penangkapan itu, hanya bisa dilakukan oleh BIN dalam hal yang menyangkut kedaulatan negara. "Jadi seperti terorisme, atau aksi sabotase, spionase. Semua yang berhubungan dengan ancaman terhadap kedaulatan negara," ujarnya.
Karena itu ia berpendapat Rancangan Undang-Undang Intelijen harus segera diselesaikan. Selain karena RUU tersebut inisiatif dari DPR, juga karena masih ada beberapa Undang-Undang yang harus diselesaikan .
Sebelumnya, penolakan terhadap RUU Intelijen terus berlanjut. Sejumlah aktivis Hak Asasi Manusia menolak undang-undang ini karena dianggap tak sejalan dengan nafas reformasi intelijen. Dua hal yang kontroversial dalam pembahasan undang-undang ini adalah soal penyadapan dan penangkapan. Dalam tanggapan pemerintah terhadap draft awal dari DPR, pemerintah meminta Badan Intelijen Negara diberikan wewenang menyadap tanpa izin pengadilan dan juga wewenang penangkapan. Pemberian wewenang ini, dianggap dapat menimbulkan pelanggaran Hak Asasi Manusia dan rentan penyalahgunaan wewenang.
FEBRIYAN