Siaran pers tersebut menyatakan putusan MK itu disambut baik oleh semua pihak yang memperjuangkan kebenaran, keadilan dan hak-hak asasi manusia: para akademisi di universitas, praktisi pendidikan di berbagai jenjang, para penulis dan pekerja kreatif lainnya, penerbit buku, kelompok seniman. Hari ini adalah tonggak sejarah baru dalam perjuangan membela kebebasan berekspresi.
Mengutip intelektual muda Yudi Latif yang hadir sebagai ahli dalam persidangan, “Hari ini kita menarik garis batas antara masa lalu dan masa depan, antara otoritarianisme dan demokrasi, antara masyarakat beradab dan masyarakat biadab.”
Baca Juga:
Buku John Roosa yang judul aslinya Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’État in Indonesia diterbitkan oleh The University of Wisconsin Press, Madison, USA pada 2006 termasuk salah satu buku yang dilarang oleh Kejaksaan Agung pada akhir tahun lalu.
Pertama kali buku ini diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia seizin penerbit asli oleh Institut Sejarah Sosial Indonesia bekerjasama dengan Hasta Mitra pada Januari 2008.
Pada hari ini, Mahkamah Konstitusi memutuskan mencabut Undang-undang nomor 4/PNPS/tahun 1963 yang membolehkan Kejaksaan melarang buku. Pelarangan buku dianggap tidak melalui proses peradilan. Setelah pencabutan peraturan ini, pelarangan buku baru bisa dilakukan setelah melalui proses hukum dan diputuskan oleh pengadilan.
"Mahkamah mengadili Undang-undang nomor 4/PNPS/tahun 1963 bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap," ujar Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD dalam sidang putusan uji materi di Mahkamah Konstitusi, Rabu (13/10).
Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menjelaskan, pelarangan buku tanpa proses peradilan adalah tindakan sewenang-wenang. "(Ini) eksekusi di luar pengadilan yang sangat ditentang negara hukum yang menghormati due process of law," katanya.
Menurut dia, berdasar pasal 28F Undang-undang Dasar 1945, setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh, mengolah, menyimpan, dan menyampaikan informasi.
Meski dicabut, bukan berarti buku tak bisa dilarang. Mahkamah menetapkan Kepolisian dan Kejaksaan dapat menyidik dan menuntut penulis atau penerbit buku yang mengganggu ketertiban umum. Namun, pengadilanlah yang berhak memvonis pelarangannya.
PGR I BUNGA MANGGIASIH