Ya hari ini Mahkamah Konstitusi mencabut Undang-Undang nomor 4/PNPS/tahun 1963, yang membolehkan Kejaksaan melarang buku. Dengan dicabutnya kewenangan itu kini kejaksaan tak bisa lagi semena-mena melarang peredaran buku.
"Begitu Mahkamah mengabulkan, saya kirim pesan pendek ke semua teman, dan semua mengucapkan selamat atas kemenangan ini," ujar Direktur Institut Sejarah Sosial Indonesia Hilmar Farid dalam jumpa pers seusai sidang putusan di Mahkamah Konstitusi, Rabu (13/10).
Baca Juga:
"Ini bukan kemenangan pemohon, tapi kemenangan Indonesia untuk lepas dari cengkeraman autoritarianisme."
ISSI adalah salah satu pemohon uji materi. Buku terbitannya, "Dalih Pembunuhan Massal – Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto" karangan John Roosa, dilarang oleh Kejaksaan pada Desember lalu.
Pemohon lain, Darmawan MM, juga bersuka cita dengan putusan Mahkamah itu. "Ttitik sejarah berbalik. Kita mulai saat ini kalau ada yang tidak sepakat tulisan dilawan dengan tulisan, buku dibalas dgn buku," katanya.
Buku Darmawan, "Enam Jalan Menuju Tuhan", juga dilarang pada akhir tahun lalu.
Taufik Basari, kuasa hukum ISSI, menambahkan, "Ini adalah kemajuan besar. Negara tidak lagi dapat menilai atau melarang pendapat seseorang dituangkan melalui buku."
Selain buku Roosa dan Darmawan, Desember lalu Jaksa Agung Muda Intelijen Iskamto dalam siaran persnya juga melarang tiga buku. Ketiga buku itu, "Lekra Tak Membakar Buku Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965" karangan Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan; "Suara Gereja bagi Umat Tertindas Penderitaan, Tetesan Darah, dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri" karya Cocrates Sofyan Yoman; serta "Mengungkap Misteri Keberagamaan Agama" yang ditulis Syahrudin Ahmad.
Darmawan, ISSI, Rhoma, dan Muhidin lantas menggugat beleid yang menjadi dasar pelarangan ke Mahkamah Konstitusi.
BUNGA MANGGIASIH