TEMPO.CO, Jakarta - Memasuki masa kampanye Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada, suasana politik semakin memanas. Para juru kampanye dan pendukung kandidat mulai aktif menyampaikan program serta janji politik para kandidat. Namun, kampanye tidak selalu berjalan dengan cara yang positif. Di tengah hingar-bingar politik, sering muncul fenomena saling serang antar kandidat dan pendukung yang tak bisa dihindari. Inilah yang memunculkan dua istilah yang sering terdengar: kampanye negatif dan kampanye hitam. Apa sebenarnya perbedaan keduanya?
Kampanye negatif: menonjolkan kelemahan dengan data nyata
Kampanye negatif dilakukan dengan cara menyoroti kelemahan atau kesalahan lawan politik berdasarkan data yang nyata dan akurat. Misalnya, ada pihak yang mengungkapkan data utang luar negeri calon presiden petahana sebagai strategi untuk menurunkan citranya di mata pemilih. Kampanye seperti ini dianggap sah secara hukum, bahkan bisa membantu pemilih dalam mengambil keputusan dengan menampilkan perbedaan yang jelas antara kandidat.
Selain itu, kampanye negatif sering menyoroti perbedaan kebijakan, rekam jejak, dan karakter antara kandidat yang bersaing. Meskipun kadang menimbulkan ketegangan, kampanye ini dapat membuat pemilih lebih sadar akan perbedaan antar calon pemimpin.
Kampanye hitam: serangan berita palsu dan fitnah
Berbeda dengan kampanye negatif, kampanye hitam atau black campaign lebih cenderung ke arah fitnah dan penyebaran berita bohong yang tidak berdasar terkait kandidat tertentu. Kampanye hitam bertujuan untuk menghancurkan karakter seseorang dengan tuduhan palsu atau informasi yang tidak relevan.
Misalnya, menuduh seorang kandidat tidak layak menjadi pemimpin karena agama atau rasnya, tanpa ada bukti atau relevansi dengan kapasitasnya sebagai pemimpin.
Dilansir dari laman Law Universitas Indonesia, menurut Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Indonesia, Topo Santoso, kampanye hitam dilarang dan bisa dikenakan sanksi pidana. Hal ini diatur dalam Pasal 280 ayat (1) huruf c dan Pasal 521 Undang-Undang Pemilu, yang menyatakan bahwa menghina seseorang atau kelompok berdasarkan agama, suku, ras, atau golongan adalah tindakan yang dapat dipidana.
Sementara itu, Kepala Sub Direktorat Tindak Pidana Korupsi Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI, Totok Suhartoyo, memaparkan tiga perbedaan utama antara kampanye negatif dan kampanye hitam. Pertama, dari sisi sumber, pelaku kampanye negatif biasanya jelas, sementara pelaku kampanye hitam sering tidak jelas atau anonim.
Kedua, dari sisi tujuan, kampanye negatif bertujuan untuk mendiskreditkan karakter seseorang, sedangkan kampanye hitam bertujuan untuk menghancurkan karakter tersebut. Ketiga, dari sisi kebenaran data, kampanye negatif menggunakan data yang sahih, sedangkan kampanye hitam menggunakan data palsu atau mengada-ada.
Selain sanksi dalam UU Pemilu, kampanye hitam di media sosial dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45 Ayat (2) UU ITE mengancam pelaku kampanye hitam di media sosial dengan hukuman penjara hingga 6 tahun.
KARUNIA PUTRI | SHARISYA KUSUMA RAHMANDA
Pilihan Editor: Ahok Sebut Suara The Jackmania Cukup Signifikan di Pilkada Jakarta