TEMPO.CO, Jakarta - Airlangga Hartarto mengundurkan diri sebagai Ketua Umum Partai Golkar pada Sabtu, 10 Agustus 2024. Airlangga tidak menyebutkan secara spesifik alasan pengunduran dirinya, tapi dikatakan keputusan diambil berdasarkan pertimbangan, salah satunya untuk menjaga keutuhan partai berlambang pohon beringin tersebut.
Lantas, bagaimana tanggapan para pengamat terkait mundurnya Airlangga?
Ada benturan kekuatan di internal
Pengamat politik dari Institute for Democracy and Strategic Affairs, Ahmad Khoirul Umam, menilai langkah mundur Airlangga sebagai pimpinan partai tidak lepas dari kuatnya benturan antarkekuatan di internal Golkar. Menurut dia, faksi-faksi besar di internal Golkar itu telah berbenturan sejak menjelang Pilpres 2024.
Salah satu bentuk benturan itu sempat terlihat ketika Golkar mencoba utak-atik koalisi Pilpres. Kala itu Golkar sempat hampir mendekat dengan PDIP. "Faksi-faksi kekuatan di internal Golkar memiliki agenda kepentingan ekonomi-politik yang beragam," katanya dalam keterangan tertulis, Ahad, 11 Agustus 2024.
Berdasarkan pengamatannya, ia menyebut ada kelompok di internal Golkar yang mencoba mempertahankan kedaulatan politik partai dari intervensi eksternal. Di sisi lain, ada pula kelompok yang mencoba bersimbiosis dengan kekuatan eksternal yang dekat dengan kekuasaan.
Langkah mundur Airlangga Hartarto sebagai pimpinan partai ini, menurut dia, ada pengaruh dari sosok The Invisible Hand. "Tampaknya kembali bergerak karena langkah dan keputusan Airlangga di sejumlah pilkada dianggap kurang tegas dan memunculkan ketidakpastian," ujar Ahmad.
Tidak pengaruhi pendaftaran paslon
Pengajar Pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengatakan pengunduran diri Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar tidak akan terlalu berpengaruh pada pendaftaran pasangan calon (paslon) pada pemilihan kepala daerah atau Pilkada 2024 dari partai berlambang pohon beringin itu.
"Undang-Undang Pilkada menyebut bahwa pendaftaran pasangan calon disertai dengan surat keputusan pengurus partai politik tingkat pusat tentang persetujuan atas calon yang diusulkan oleh pengurus partai tingkat daerah," kata Titi di Semarang, Ahad, 11 Agustus 2024.
Menurut Titi, sepanjang AD/ART mengatur mekanisme pengambilan keputusan pengurus partai tingkat pusat dalam hal ketua umum berhalangan atau mengundurkan diri, maka mekanisme pencalonan partai dapat menggunakan mekanisme yang ada di dalam AD/ART partai politik tersebut.
Titi mengemukakan bahwa peristiwa serupa juga pernah terjadi pada Pemilu 2024. Pencalonan anggota DPR RI dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) oleh Pelaksana Tugas Ketua Umum Muhammad Mardiono sebagaimana ketentuan yang ada dalam AD/ART PPP untuk menjalankan tugas saat ketua umum definitif berhalangan atau dalam keadaan tidak terisi, kembali lagi ke mekanisme AD/ART.
NOVALI PANJI NUGROHO | ANDRY TRIYANTO TJITRA | ANDI ADAM FATURAHMAN
Pilihan Editor: Respons Kejagung soal Sprindik Baru Airlangga Hartarto di Dugaan Korupsi Ekspor CPO