TEMPO.CO, Jakarta - Pegiat lingkungan hidup dan pengamat kebijakan publik, menyoroti keputusan dua organisasi masyarakat keagamaan, Nahdlatul Ulama atau NU dan Muhammadiyah yang memutuskan menerima izin usaha pertambangan khusus dari pemerintah.
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi, Parid Ridwanuddin, mengatakan pemberian izin tambang ormas keagamaan berpotensi lebih besar memberikan mudharat ketimbang manfaat.
"Ini tak sejalan dengan fikih Islam modern," kata Parid melalui pesan singkat, Senin, 29 Juli 2024.
Parid menjelaskan, Ali Yafie, mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia sekaligus ulama besar Nahdlatul Ulama, dalam bukunya “Merintis Fikih Lingkungan Hidup” yang terbit pada 2006, memasukkan isu perlindungan lingkungan hidup ke dalam maqashid syariah yang bersifat primer.
Secara tekstual, maqashid ini meminta manusia untuk melindungi kehidupan.
Pun, Parid melanjutkan, Ulama asal Mesir yang sangat disegani, Yusuf Qardhawi, juga mengemukakan pendapat yang sama. Dalam kitabnya, “Ri'ayatul Bi'ah fi Syari'atil Islam” (memelihara lingkungan dalam Syari'at Islam) yang terbit pada 2001, disebutkan bahwa, menjaga lingkungan hidup sama dengan menjaga agama dan menjaga hal primer lainnya yang disebutkan dalam maqashid syariah.
Berdasarkan dua pandangan ini, menurut Parid, menjaga lingkungan hidup, lebih jauh menjaga planet bumi, memiliki justifikasinya dalam fikih Islam.
“Semestinya diskursus ini dipertimbangkan dalam berbagai proses pengambilan keputusan oleh berbagai pihak,” ujar Parid.
Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio, sepakat dengan Parid. Ia mengatakan, pemberian IUP kepada ormas keagamaan akan memunculkan banyak mudharat terhadap kehidupan. Sebab, pertambangan akan berpotensi merusak alam.
Sebagai ormas keagamaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan, semestinya organisasi seperti NU dan Muhammadiyah menyatakan sikap menolak terhadap tawaran ini. Alasannya, pembukaan usaha pertambangan oleh ormas keagamaan dapat menjerumuskan tidak hanya organisasi, namun juga umat ke dalam kemaslahatan.
“Lebih baik jika ormas keagamaan berfokus pada bidang usaha yang banyak memberi manfaat, seperti kesehatan dan pendidikan. Bukan pertambangan,” kata Agus.
Pada Ahad, 28 Juli kemarin, Pengurus Pusat Muhammadiyah, memutuskan menerima tawaran IUP khusus dari pemerintah. Alasannya, hasil pleno pada 13 Juli lalu, dan Konsolidasi Nasional yang dilangsungkan selama 2 hari sejak 27-28 Juli kemarin.
Konsolidasi Nasional ini dihadiri pimpinan pusat Muhammadiyah, Majelis, Lembaga, Biro, Organisasi Otonom Tingkat Pusat, Pengurus Wilayah Seluruh Indonesia, Rektor Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan ‘Aisyiah, serta Direktur Rumah Sakit Muhammadiyah.
“Kami melihat nilai positif tambang itu seperti sebuah kehidupan, persis seperti itu juga pro kontranya,” kata Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir dalam jumpa pers, Ahad, 28 Juli 2024, kemarin.
Sebelumnya, ormas keagamaan yang pertama kali menyambut baik terbitnya PP Nomor 25 Tahun 2024 ini, ialah Pengurus Besar NU. Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf, mengatakan organisasinya menerima tawaran pemerintah ihwal IUP karena memang membutuhkan sumber pendanaan baru.
“Kami desperate,” kata Yahya saat berbicara dalam acara “Halaqoh Ulama: Sikapi Fatwa MUI Terkait Ijtima Ulama Soal Salam Lintas Agama” pada Rabu, 12 Juni lalu.
Sumber pendanaan baru yang dimaksud Yahya, ialah soal pengelolaan usaha yang dikelola PBNU selama ini. Misalnya, Nahdliyin-warga NU memiliki 30 ribu pondok pesantren dan madrasah.
Namun, sumber daya dan kapasitas yang ada saat ini sudah tak cukup lagi untuk menopang keberlanjutan program tersebut. Salah satu contohnya ialah keterbatasan dana dalam merenovasi pondok pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur hingga pemberian gaji layak bagi para pengajar di fasilitas pendidikan milik Nahdliyin.
Adapun, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 sebagai revisi dari Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Beleid ini diteken Presiden Joko Widodo pada 30 Mei lalu. Aturan ini memberikan regulasi anyar kepada organisasi Masyarakat keagamaan, di mana mereka dapat mengajukan atau diberikan wilayah izin usaha pertambangan khusus alias WIUPK dari pemerintah.
Dalam kunjungan kerja ke Batang, Jawa Tengah pada Jumat, 26 Juli kemarin, Presiden Jokowi, menjelaskan alasannya menerbitkan PP Nomor 25 Tahun 2024 yang memberikan WIUPK kepada ormas keagamaan.
Ia mengklaim, penerbitan PP tersebut didasari atas komplain Masyarakat manakala dirinya melakukan dialog di pondok pesantren dan masjid. Jokowi mengatakan, ormas keagamaan menyanggupi apabila diberikan konsesi untuk mengelola tambang, bukan hanya perusahaan besar.
Kemudian, Jokowi melanjutkan, alasan lainnya dari penerbitan PP Nomor 25 Tahun 2024, ialah untuk memberikan pemerataan sekaligus keadilan ekonomi.
Pilihan Editor: Jokowi Tak Nyenyak Tidur di Istana IKN: Mungkin Pertama Kali Aja