Prosesi pemakaman Sultan Hamengkubuwono IX. Foto: Istimewa
Malam sebelum pemakaman, itu adalah malam berdoa. Sebanyak 90 kelompok pengajian tampak bersembahyang di samping jenazah. Beberapa kali, bergiliran, rombongan wanita berbaris. Mukena mereka yang putih membentuk kontras yang syahdu pada latar bangsal yang merah dan oranye. Mereka khusyuk, di tepi sebuah ruangan luas yang redup. Dalam ketemaraman yang sama, satu rombongan biarawati Katolik hadir dalam doa, sementara di lantai lebih bawah ada sederet orang bersemadi cara Jawa.
Tapi suasana berkabung yang mencekam sesungguhnya berlangsung sebelum itu: Jumat pagi. Ketika jenazah tiba dari Lapangan Udara Adisucipto, suasana sangat hening sejak dari alun-alun utara. Hanya ada suara wanita membaca Quran di menara masjid. Harum melati dan mawar juga dupa di mana-mana. Menurut B.R.A.Y. Kuswarjanti, seorang putri Sultan, ada tiga kuintal melati dan sekuintal mawar yang dipakai. Universitas Gadjah Mada menyumbang dua kuintal.
Kira-kira setengah jam setelah lonceng keraton Kiai Brajanala disentakkan 9 kali, mobil ambulans datang. Tubuh Hamengkubuwono IX terbujur di dalamnya. Dalam sebuah peti mati dari Amerika seberat 350 kilo dan panjang tiga meter. Untuk kedatangannyalah semua menunggu. Di pelataran dan di sekitar Bale Antiwahono, sepasukan elite ABRI, di bawah Kolonel Suranto, Dan Rem 071 Purwokerto, siap.
Warna-warna baret mereka, merah, hijau, jingga, dan biru tua tampak seperti berkilat di bawah matahari pagi dan dikelilingi warna bangunan keraton yang redup itu. Empat belas prajurit Kopassus dengan baju tempur akan mengangkat peti yang berat itu, sementara 10 prajurit berbaret hijau dari Kostrad, tegak di sebelah kiri dan kanan ruangan, berdiri menyiapkan tembakan salvo.
Begitu ambulans tiba, para abdi dalem dalam pakaian peranakan yang biru gelap duduk bersimpuh di tanah. Seorang yang kebetulan berada dekat jenazah, tetap tegak, tapi ia memejamkan matanya seperti semadi. Para pangeran, calon menantu, dan para istri Sultan, termasuk Ny. Norma atau K.R.A. Nindyokirono yang baru datang dari Jakarta bersama jenazah, berdiri.
Selanjutnya: Gending Mogang dari Gamelan Kiai Guntur Laut mengiringi