TEMPO.CO, Jakarta - Perkumpulan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) menilai banyak kejanggalan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK menjadi 5 tahun. Kejanggalan pertama dimulai dari pelaksanaan sidang pemeriksaan yang singkat.
“Durasi pemeriksaan dan putusan sangat singkat,” kata Ketua PBHI Julius Ibrani, Ahad, 28 Mei 2023.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron selaku penggugat melayangkan uji materi terkait Pasal 29 huruf e dan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 ke MK pada November 2022. Pasal itu mengatur tentang batas usia dan masa jabatan pimpinan KPK. MK menyatakan gugatan itu lengkap pada 24 November 2022. Enam bulan berselang, MK membacakan putusan terkait uji materi itu pada 25 Mei 2023.
Dalam putusannya, MK mengabulkan seluruh gugatan Ghufron. MK mengubah kedua pasal itu dengan menambahkan ‘berpengalaman sebagai pimpinan KPK’ pada Pasal 29 huruf e dan mengubah masa jabatan pimpinan KPK dari 4 tahun menjadi 5 tahun. Dalam putusan tersebut, MK tidak menjelaskan secara gamblang apakah putusan tersebut berlaku untuk masa periode pimpinan saat ini atau yang akan datang.
Julius Ibrani menilai MK telah melampaui wewenang ketika membuat putusan itu. Dia mengibaratkan MK mempertegas bahwa KPK harus berada di bawah pengawasan presiden, karena itu masa jabatan pimpinan KPK harus sama dengan masa jabatan presiden yakni 5 tahun. “Dengan makna sebagai norma hukum baru yang tidak ada di konstitusi dan bukan mandat UU KPK,” kata dia.
Julius mengatakan kejanggalan putusan itu berlanjut terkait penafsiran kapan putusan tersebut harus diberlakukan. Dia mengatakan meskipun dalam putusannya MK tidak menyebutkan secara lugas mengenai waktu berlaku putusan tersebut, akan tetapi juru bicara MK Fajar Laksono menafsirkan putusan itu berlaku segera, yakni untuk masa jabatan Ketua KPK Firli Bahuri dkk.
“Kemudian ditafsirkan secara brutal oleh juru bicara MK, bahwa putusan itu mengikat dan berlaku surut atau mundur bagi kepemimpinan KPK saat ini,” kata dia.
Dia menilai putusan MK dan penafsiran tersebut menandakan MK telah mengatur hingga ke level persoalan teknis, yakni merevisi Keputusan Presiden 129/P Tahun 2019 tentang Pengangkatan Pimpinan KPK. Menurut Julius, hal itu jelas bertentangan dengan konstitusi dan Undang-Undang MK.
“Sekaligus menegaskan bahwa MK adalah Pegawai Pemerintahan, dan KPK dijadikan alat politik untuk 2024 mendatang,” kata dia.
Julius mengatakan tindakan MK menambahkan norma baru dalam sebuah UU atau positive legislation itu bakal merusak sendi-sendi tata negara Indonesia. Dia mengatakan tindakan tersebut bisa jadi akan membuat sistem hukum Indonesia pada titik terendah.
“Positive Legislation MK yang brutal dan merusak sendi-sendi tata negara Indonesia seperti ini, merupakan preseden buruk dan keruntuhan sistem hukum pada titik terendah,” kata dia.
Pilihan Editor: Top Nasional: Kejanggalan Putusan MK soal Perpanjangan Masa Jabatan Pimpinan KPK, Andi Pangerang Dipecat