TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak untuk seluruhnya permohonan sengketa Pilpres yang diajukan oleh paslon nomor urut 01 Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar. Putusan MK terkait sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) atau sengketa Pilpres 2024 dibacakan pada Senin 22 April 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi.
Dalam putusan MK itu, terdapat tiga orang hakim konstitusi yang mengajukan pendapat berbeda atau dissenting opinion.
Pakar Hukum Universitas Andalas atau Unand, Charles Simabura kepada Tempo.co pada Kamis, 25 April 2024 memberikan tanggapannya mengenai dissenting opinion oleh 3 hakim MK.
1. Kurangnya Waktu Jadi Kendala Pembuktiaan Dissenting Opinion
Charles mengatakan bahwa dalam perkara tersebut waktu persidangan MK diatur oleh undang- undang sehingga hakim tidak memiliki waktu yang cukup untuk menggali lebih jauh dan lebih dalam terkait persoalan- persoalan yang menjadi poin gugatan.
“Padahal kan ini pembuktian peristiwa konkret kalau peristiwa konkret, per peristiwa harus didukung oleh dua alat bukti, makanya hampir semua dalih- dalih mk tidak cukupnya bukti, sementara tidak cukupnya bukti ada kendala tersendiri juga, terkait dengan kendala batasan waktu yang diberikan undang-undang untuk menyelesaikan perkara itu,” ujar Charles Simabura.
2. Pembatasan Kehadiran Saksi Juga Jadi Kendala
Charles juga melanjutkan bahwa keterbatasan pembuktian juga karna kehadiran masing- masing pihak yang dibatasi hanya sekali.
“Kalau kita lihatkan masing- masing pihak hanya boleh hadir sekali saja, jadi tidak seperti masalah pidana yang berlarut- larut prosesnya sampai dengan hakim merasa yakin, bagi saya mahkamah tidak mampu melakukan terobosan sebagaimana yang kemudian didalilkan dalam dissenting opinion,” terangnya.
3. Waktu Jadi Masalah Hampir di Setiap Pemilu
Charles juga mengatakan bahwa permasalahan waktu menjadi kendala yang terjadi hampir di setiap Pemilu.
Saya pikir ini juga menjadi catatan dari awal- awal sengketa ini digulirkan. Hampir setiap pemilu masalah waktu menjadi kendala untuk mk menggali lebih jauh dan lebih banyak alat bukti,” kata dia..
4. Apresiasi 3 Hakim yang Dissenting Opinion
Dengan segala kendala masih terjadi Charles tetap memberikan apresiasi terkait adanya tiga hakim MK yang berusaha melakukan dissenting opinoin.
“Ini yang patut kita apresiasi dan memberi harapan kepada kita bahwa sudah ada hakim mahkamah konstitusi yang sudah berusaha menerobos keterbatasan itu, meskipun ada tapi mereka meyakini bahwa dugaan kecurangan itu memang ada,” ujar Charles Simabura.
Hakim MK Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat termasuk dalam tiga hakim yang mengungkapkan kejanggalan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat minimal usia capres-cawapres. Sementara satu hakim lainnya adalah Suhartoyo. Mereka bertiga menyatakan pendapat berbeda atau dissenting opinion dalam putusan 90 itu.
Putusan nomor 90 itu yang memberikan jalan keponakan Anwar Usman, Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto. Gibran merupakan anak Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
Calon Presiden nomor urut 3 yang juga menjadi pemohon dalam sengketa Pilpres mengatakan bahwa Disennting opinion dalam sejarah Pemilu di Indonesia baru peertama kali terjadi yakni pada tahun 2024 ini.
”Memutuskan sengketa pilpres baru hari ini ada dissenting opinion. Sejak dulu tidak boleh ada dissenting opinion, karena biasanya hakim berembuk karena ini menyangkut jabatan orang, maka ini harus sama. Dirembuk sampai sama. Nah mungkin ini nggak bisa sama. Itu ada catatan sejarah,” ujar Mahfud Md yang pernah menjabat sebagai Ketua MK periode 2008 – 2013.
Pasca pembacaan hasil putusan MK atas perkara PHPU Pilpres 2024 pemohon dari Paslon nomor urut 01 Anies Baswedan dan 03 Ganjar Pranowo turut mengucapkan selamat kepada Paslon Presiden dan Wakil Presiden terpilih Prabowo-Gibran.
Pilihan Editor: Alasan 3 Hakim Konstitusi Ajukan Dissenting Opinion dalam Putusan MK Soal Sengketa Pilpres 2024