TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak sepenuhnya semua permohonan sengketa hasil pemilihan Presiden-Wakil Presiden yang diajukan oleh Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. Dalam keputusannya, 3 dari 8 hakim MK menyampaikan pendapat yang berbeda atau dissenting opinion.
Dissenting opinion yang disampaikan oleh hakim MK dalam proses Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres ini merupakan kejadian pertama. Namun, apa sebenarnya arti dari dissenting opinion dan final and binding?
Dissenting Opinion
Menurut laman resmi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, dissenting opinion adalah perbedaan pendapat di antara hakim terhadap putusan yang diambil. Hal ini diatur dalam Pasal 10 Undang-undang MK, yang menetapkan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat.
Dalam sebuah jurnal berjudul "Putusan Mahkamah Konstitusi yang Disertai dengan Pendapat Hakim Berbeda (Dissenting Opinion) dalam Pemenuhan Prinsip-Prinsip Keadilan" yang ditulis Muhammad Saleh Suat, dissenting opinion dipahami sebagai representasi dari pandangan dan penafsiran hakim terhadap suatu situasi, nilai, atau penafsiran yang dianggap benar. Keberanian untuk menyampaikan dissenting opinion menempatkan akuntabilitas dan kredibilitas intelektual hakim pada risiko, terutama dalam menjaga prinsip kehati-hatian dalam mengambil keputusan.
Peraturan mengenai Dissenting Opinion dapat ditemukan dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan:
1. Putusan diambil melalui sidang permusyawaratan hakim yang dilakukan secara rahasia.
2. Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim diwajibkan untuk memberikan pertimbangan atau pendapat tertulis mengenai perkara yang sedang diperiksa, yang menjadi bagian integral dari putusan.
3. Jika dalam sidang permusyawaratan tidak tercapai kesepakatan bulat, pendapat hakim yang berbeda harus dimasukkan dalam putusan.
4. Rincian lebih lanjut tentang sidang permusyawaratan seperti yang dijelaskan dalam ayat (2) dan (3) diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung.
Final and binding
Untuk menjalankan kewenangan yang sangat besar, MK memberikan satu atribut yang unik, yaitu sifat final and binding pada putusannya. Artinya, keputusan MK adalah penentuan akhir yang tidak dapat digugat kembali di jalur hukum lain di Indonesia. Namun, sifat ini telah menuai kritik dari sebagian ahli hukum tata negara.
Mereka mempertanyakan apa yang akan terjadi jika suatu saat putusan MK merugikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan, atau bertentangan dengan ideologi negara Pancasila. Meskipun begitu, hukum Indonesia tidak memberikan alternatif untuk mengatasi situasi ini, meskipun kemungkinannya kecil tetapi masih mungkin terjadi. Kita harus ingat bahwa kedaulatan tertinggi berada pada rakyat, bukan pada hukum, karena hukum adalah representasi dari negara yang cenderung menindas rakyat.
Oleh karena itu, jika terjadi konflik antara keinginan rakyat dan hukum, maka kepentingan rakyat harus diutamakan. Namun, sifat final and binding dari putusan MK menutup kemungkinan ini.
Untuk mengatasi masalah ini, penulis menyarankan sebuah solusi terkait sifat final and binding dari putusan MK, sehingga masih ada kesempatan untuk mengujinya jika ditemukan kesalahan fatal suatu saat. Salah satu model yang dapat dijadikan contoh adalah pengadilan internasional. Di pengadilan internasional, putusan masih bisa diperiksa oleh pengadilan yang sama, tetapi dengan panel hakim yang berbeda dari putusan aslinya.
Dengan cara ini, di MK misalnya, putusan awal bisa diputuskan oleh maksimal 7 hakim MK, tetapi jika ada pihak yang merasa dirugikan oleh keputusan itu, dalam periode waktu tertentu MK bisa memeriksa kembali putusannya sendiri dengan melibatkan seluruh hakim MK. Putusan dari seluruh hakim MK ini yang kemudian memiliki sifat final and binding. Dengan model seperti ini, diharapkan kekhawatiran akan putusan MK yang bertentangan dengan Pancasila dan kedaulatan rakyat bisa diatasi.
Pilihan Editor: Ketua MK Suhartoyo dan 7 Hakim Konstitusi Kenakan Jubah Warna Hitam dan Merah, Apa Artinya?