TEMPO.CO, Jakarta - Abdul Gani Handonotjokro adalah satu-satunya awak pesawat yang selamat kala insiden siang menjelang sore 29 Juli 1947. Dakota VT-CLA yang ditumpanginya bersama Abdulrachman Saleh dan Adisutjipto beserta awak lainnya ditembak jatuh oleh Kitty Hawk milik Belanda. Padahal pesawat yang membawa obat-obatan itu sebelumnya telah mendapatkan izin dari Inggris dan Belanda untuk memasuki wilayah udara Yogyakarta.
Setelah diserbu tembakan oleh dua Mustang Belanda, pesawat yang hendak mendarat di Pangkalan Udara Maguwo itu jatuh dan membentur pohon. Dakota VT-CLA patah menjadi dua dan terbakar di desa Tamanan, Kecamatan Banguntapan, dekat Desa Ngoto, Bantul, Yogyakarta. Hanya sebagian ekornya saja yang masih utuh, di mana saat itu Gani Handonotjokro berada.
Peristiwa itu menyebabkan gugurnya Komodor Muda Udara Abdulrachman Saleh, Komodor Muda Udara Adisutjipto, Opsir Udara Adisumarmo Wiryokusumo, Zainal Arifin, pilot Alexander Noel Constantine (Wing Comander Australia), Co pilot Squadron Leader Inggris Roy Hazelhurst, Juru Teknik India Bidha Ram, dan istri Alexander Noel Constantine. Sebenarnya Ny. Constantine masih hidup usai kejadian. Namun meninggal beberapa hari kemudian akibat luka yang dideritanya.
Insiden penyerangan Dakota VT-CLA oleh dua Kitty Hawk Belanda di udara itu menarik perhatian masyarakat. Ironisnya, kala insiden terjadi, masyarakat yang menyaksikan jatuhnya pesawat tersebut mengira bahwa yang jatuh adalah pesawat Belanda. Warga pun berbondong-bondong untuk menyaksikan jatuhnya “pesawat Belanda” seperti yang mereka duga.
Rakyat yang sudah muak dengan ulah Belanda pun mencari-cari bila ada penumpang yang selamat. Seperti jatuh tertimpa tangga, Gani Handonotjokro hampir dikeroyok warga karena dikira sebagai awak pesawat Belanda yang masih selamat. Warga salah mengira lantaran dalam insiden tersebut ada pula wajah-wajah asing seperti pilot Alexander Noel Constantine dan istrinya, Co pilot Squadron Leader Inggris Roy Hazelhurst, Juru Teknik India Bidha Ram.
Dengan kondisi terluka parah, Gani Handonotjokro berusaha mencari ruang sembunyi di dalam pesawat yang telah ringsek. Hampir saja persembunyiannya diketahui warga. Beruntung tim evakuasi segera datang dan menghentikan upaya warga. Tim itu terdiri dari beberapa anggota Kepanduan, sekarang Pramuka, yang dipimpin oleh Tino Sidin. Kelak, Tino Sidin dikenal sebagai pelukis populer pada era 1980-an.
Saksi mata lain adalah Soma Pawiro. Masih mengutip buku Yos Bintoro, bagaikan tersadar dari mimpi, Soma Pawiro menyaksikan insiden tersebut tersebut begitu cepat. Dalam sekejap, lokasi jatuhnya Dakota VT-CLA sudah penuh dengan warga yang berlari-lari dari segala penjuru. “Ana landané, ana landané (ada Belandanya)!”. Setelah kedatangan tim Kepanduan, amarah warga yang mengira itu adalah tentara Belanda kemudian mereda setelah mengetahui beberapa awak berwajah Indonesia.
Sumber lain melaporkan, sebenarnya Gani Handonotjokro bukan hanya hampir dikeroyok, tapi memang sempat mendapat bulan-bulanan warga. Jojok Soebandrio membagikan pengalamannya kala bertemu seorang pejabat dari Hamburg, Jerman Barat. Pejabat Jerman tersebut bercerita kepada Jojok, dirinya dipaksa turun dari pesawat Dakota VT-CLA ketika pesawat sudah siap take off dari Singapura menuju Yogyakarta, dengan alasan ada ‘orang penting’.
Selang beberapa waktu, pejabat Jerman itu kemudian bertemu dengan Gani Handonotjokro yang selamat dari insiden. Gani Handonotjokro bercerita, jika tidak segera berlari ke toilet pesawat, pasti akan ikut menjadi korban pengeroyokan massa. Jadi kala itu Gani Handonotjokro tidak hanya ‘hampir’ dihajar massa, namun memang sudah mengalami pengeroyokan. Situasi peperangan saat itu memang menyebabkan setiap orang saling curiga. Terlebih, pesawat Dakota VT-CLA bukan milik Republik Indonesia.
Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia era Soeharto, Daoed Joesoef dalam bukunya Tino Sidin Guru Gambar dan Pribadi Multi Dimensional, mengungkapkan, Tino Sidin juga melihat langsung insiden jatuhnya pesawat itu. Dia lantas segera menggerakkan anggotanya ke lokasi kejadian. Warga tidak menyangka pesawat terbang tersebut berisi orang-orang penting yang membawa obat-obatan. Mereka mengira serangan tersebut merupakan siasat Belanda yang akan membom Yogyakarta.
Untuk mengenang peristiwa tersebut, sejak 1955, tiap jatuh tanggal 29 Juli 1947 diperingati sebagai Hari Berkabung AURI. Tempat jatuhnya pesawat Dakota VT-CLA kemudian didirikan monumen tugu peringatan Monumen Perjuangan TNI AU. Pada 14 Juli 2000, atas prakarsa Kepala Staf TNI AU Marsekal TNI Hanafi Asnan, kerangka jenazah Abdulrachman Saleh dan Adisutjipto beserta istri dipindahkan ke lokasi tugu tersebut.
HENDRIK KHOIRUL MUHID
Baca: Kisah Heroik Abdulrachman Saleh, Pak Karbol Pahlawan Multitalenta
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.