Perayaan ulang tahun Partai Komunis Indonesia dirayakan besar -besaran digelar, Presiden Sukarno terlihat mesra berdampingan dengan Ketua Partai Komunis Indonesia D.N Aidit pada 23 Mei 1965. wikipedia. org
TEMPO.CO, Blitar - Aktivis Gerakan Pemuda Ansor, badan otonom di bawah Nahdlatul Ulama, Chudlari Hasyim mengisahkan situasi panasnya situasi sosial-politik di Blitar pada tahun 1965 dan menjelang G30S. Ketika itu, Chudlari adalah pemuda gagah berusia 28 tahun yang mendidih menyaksikan penjarahan hasil bumi oleh gerombolan Pemuda Rakyat, organisai pemuda di bawah Partai Komunis Indonesia.
“Ini tak bisa dibiarkan terus menerus,” ucap Chudlari mengenang masa itu. Chudlari mengisahkan hal ini kepada Tempo yang menemuinya di rumahnya Jl Ploso 6 Kelurahan Plosokerep, Kecamatan Sananwetan, Blitar pada Selasa, 22 September 2015. (Lihat videoJejak CIA dalam Tragedi G30S 1965, Ini Dia Fakta Penyiksaan Jendral Saat G30S)
Aksi penjarahan oleh Pemuda Rakyat yang terjadi di tahun 1964 di sejumlah kawasan di Kabupaten Blitar ini hampir terjadi setiap hari. Para pemilik lahan yang pada mulanya rukun mempekerjakan buruh tani untuk menggarap sawah tiba-tiba menjadi korban penjarahan. Mereka datang pada saat panen dan langsung mengambil setengah dari hasil panenan untuk dibagikan kepada anggota Pemuda Rakyat. Menurut Chudlari, hal itu sebagai salah satu manifestasi sama rata sama rasa yang didengung-dengungkan PKI sebagai alasan untuk menjarah.
Bersama dengan aktivis Ansor lain, Chudlari tak pernah berhenti mendiskusikan aksi sepihak itu. Mereka memutuskan untuk melawan perampasan harta kepada warga Nahdliyin ini karena tak bisa lagi ditolerir. Adalah Kayubi dan Abdurahman Sidiq, dua tokoh Gerakan Pemuda Ansor Blitar yang muncul sebagai pioner dalam perlawanan ini. Abdurahman adalah seorang pemikir ulung, sedangkan Kayubi adalah pengatur strategi yang disegani anggota Anshor. Selain itu, Kayubi juga tercatat sebagai pegawai di kantor pemerintah daerah Kabupaten Blitar yang juga akrab dengan para politisi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah setempat.
Menurut Chudlari dua orang itu sangat disegani oleh pemuda Ansor yang rata-rata berusia di bawah mereka. Terlebih lagi tingkat pendidikan formal yang mereka ikuti cukup rendah dengan rata-rata lulusan sekolah dasar. “Saya akhirnya juga dihitung sebagai komandan di kalangan kawan-kawan Anshor karena lulusan SMP,” kata Chudlari.