Kisah Apel Akbar 5 Oktober 1965 dan Pengganyang PKI
Editor
Sunu Dyantoro
Minggu, 4 Oktober 2015 21:28 WIB
Menurut Chudlari, seluruh persiapan tempur itu dilakukan secara swadaya oleh pengurus Cabang Anshor dan para kyai. Bahkan untuk kebutuhan logistik seperti nasi bagi anggota Banser disiapkan oleh kaum perempuan NU yang tergabung dalam organisasi Fatayat. “Tak ada peran TNI dalam persiapan ini,” katanya.
Aparat militer melalui Kodim dan Koramil hanya memberi kemudahan perizinan bagi Banser untuk melakukan kegiatan pelatihan. Mereka juga tak ikut campur dalam perseteruan itu dan memilih berada di belakang Banser. Tak diketahui pasti apa peranan TNI kepada mereka. Namun yang jelas kala itu Kayubi memiliki sepucuk senjata api berupa pistol yang selalu dibawa kemana-mana.
Kepemilikan senjata api oleh Kayubi ini, menurut Chudlari cukup menjadi penyemangat anggota Banser untuk bertempur. Apalagi berulang kali dia menegaskan bahwa gerakan ini sepenuhnya mendapat dukungan militer meski tak bertindak secara langsung. Chudlari menyebut kedekatan Komandan Kodim Sanusi dengan para kyai NU cukup erat. Bahkan Sanusi dikabarkan kerap mendatangi kediaman Kyai Jamasari, seorang sakti mandraguna di Kecamatan Wonodadi, Kabupaten Blitar. Dari tangan Kyai Jamasari ini pula lahir para algojo yang menghabisi para tokoh PKI di Blitar.
Pergerakan Banser ini tampaknya diendus pula oleh Pemuda Rakyat. Mereka tiba-tiba berkumpul di alun-alun Blitar dan memenuhi seluruh kawasan hingga membuat alun-alun menjadi merah. Tak diketahui persis apa agenda pertemuan besar tersebut. Yang jelas, dua tokoh NU di Kecamatan Kademangan, Blitar dikabarkan telah diculik dan dibantai oleh segerombolan orang yang diyakini sebagai PKI. Mereka adalah Kiai Manun dari Desa Dawuhan dan Kiai Maksum yang merupakan Ketua NU Plosorejo. “Modusnya perampokan yang mengambil harta benda dan menghabisi orangnya,” kata Chudlari.
Peristiwa pembantaian dua tokoh NU ini terjadi sebelum meletus Gerakan 30 September di Jakarta yang diikuti dengan penculikan tujuh petinggi TNI. Kabar adanya gerakan PKI di Jakarta ini terlambat didengar pengurus Anshor di Blitar yang merespon dengan menggelar apel besar di alun-alun Blitar tepat pada tanggal 5 Oktober 1965. Tak tanggung-tanggung, apel ikrar anggota Banser ini dihadiri oleh Ketua Umum Nahdlatul Ulama Kiai Idham Khalid, Ketua Gerakan Pemuda Ansor Pusat Ahmad Obet, dan Komandan Kodim Sanusi.
Dan pada apel kedua, muncul instruksi dari pengurus pusat Ansor untuk melakukan perang terbuka kepada PKI di Blitar. Seluruh anggota Banser diminta berangkat dari pos masing-masing dengan membawa senjata tajam tepat pada hari Kamis tanggal 7 Oktober, atau satu pekan setelah pecah gerakan 30 September di Jakarta.
Menurut Chudlari suasana kala itu sangat mencekam dimana seluruh anggota Banser membawa parang sambil berjalan menyusuri jalan desa. Mengenakan celana kolor dengan sarung diikat di pinggang, mereka berjalan sambil mengumandangkan Takbir. Tujuan mereka adalah menyasar kantor-kantor organsiasi PKI dan menghabisi para pengurusnya. Chudlari yang kala itu berprofesi sebagai guru di Madrasah Tsanawiyah dan tengah mengajar diminta bergabung dalam operasi pembersihan itu.
Chudlari yang tak siap bertempur bergegas menuju rumah seorang kyai dan bermaksud meminta petunjuk. Dan di luar dugaan, sang kyai yang kala itu tengah menggoreng kerupuk menggunakan mesin penggorengan segera mengambil rantai mesin untuk diberikan kepada Chudlari. “Rantai itu saya masukkan saku sehingga mirip pistol,” katanya tertawa.
Dan satu per satu seluruh tokoh PKI dihabisi dengan cara disembelih. Chudlari mengklaim pasukannya tak membunuh anggota keluarga tokoh PKI yang tak terlibat aktivitas suaminya. Namun setiap pengurus organisasi yang namanya sudah dikantongi dipastikan tak akan selamat.