TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Panitia Khusus RUU Antiterorisme, Arsul Sani, menyebutkan terbuka kemungkinan mengadopsi Undang-Undang Terorisme Inggris dalam undang-undang yang sedang dibahas. Ini berkaitan dengan isu perpanjangan masa penahanan terduga teroris oleh kepolisian.
”Di sana ada istilah penangkapan precharge detention, penahanan sebelum persangkaan sampai 14 hari. Itu pun harus sesuai dengan izin peradilan,” kata Arsul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 29 Mei 2017, terkait dengan RUU Antiterorisme.
Baca juga:
Sebab-sebab Lambatnya Pembahasan RUU Antiterorisme
Arsul menilai Inggris memiliki model perundang-undangan terbaik dalam pemberantasan terorisme. Menurut dia, penegakan hukum di Inggris tegas dengan memperhatikan hak asasi manusia. “Bisa saja kami sepakati model Inggris yang akan diadopsi dalam RUU terorisme ini,” ujarnya.
Penyelesaian RUU tentang tindak pidana terorisme yang sedang dibahas di DPR digenjot menyusul teror bom bunuh diri di Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur, Rabu, 24 Mei 2017. Pembahasan berlangsung alot karena sebagian isinya mendapat pro dan kontra. Termasuk perpanjangan masa penahanan terduga teroris yang ditolak sejumlah kelompok masyarakat.
Baca pula:
Alasan Yasonna Desak DPR Segera Revisi UU Antiterorisme
Arsul mengakui wacana perpanjangan masa penahanan alot. Dalam KUHAP, kata dia, polisi hanya bisa menangkap dan menetapkan status tersangka dalam 1 × 24 jam. Dalam UU Terorisme memuat tujuh hari, sedangkan dalam RUU sebanyak 30 hari. “Banyak elemen masyarakat keberatan,” katanya
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly meminta Dewan mempercepat pembahasan revisi UU Tindak Pidana Terorisme. Menurut dia, penyelesaian mendesak untuk mengantisipasi aksi teror seperti bom Kampung Melayu.
Meski begitu, Yasonna memastikan RUU Antiterorisme bakal tetap memperhatikan masalah hak asasi manusia. “Tidak ada keinginan kita untuk melanggar hak asasi manusia. Semua dalam koridor negara hukum.”
ARKHELAUS W.