TEMPO.CO, Jakarta- Nama Zainul Arifin, 34 tahun, mendadak terkenal. Terduga bom bunuh diri di Poso, Sulawesi Tengah pada 3 Juni lalu itu kini menjadi perbincangan hangat warga Gang Gedong, Kecamatan Panciran Kabupaten Lamongan. Rumah orang tuanya yang berjejalan di Gang Gedong alias Gang Pendidikan, Jalan Raya Blimbing, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan ikut kecipratan terkenal.
Di rumahnya yang mungil, Arif, panggilan dari Zainul Arifin, hidup bersama Ibunya, Zumaroh. Ayahnya dikabarkan sudah meninggalkan rumah itu sejak Arif dan lima saudarnya masih kecil-kecil. Selain itu ada juga istrinya bernama Fatimah alias Musdalifah, yang kini hamil tujuh bulan. Setelah peristiwa peledakan bom bunuh diri itu, Fatimah memilih pulang ke rumah orang tuanya di Mojokerto.
Ketika Tempo mendatangi rumah itu pada Selasa, 18 Juni, kemarin, ada empat orang yang sedang bertamu di rumah kecil tersebut. Dua orang yakni Wahyudin dan Aziz Junaidin, adalah kakak kandung Arif. Dua orang lagi, anggota Kepolisian Resor Lamongan. Kemungkinan anggota reserse karena berbaju preman.
Kedua kakaknya membatasi percakapan ketika Tempo bertanya. Wahyudin, kakak tertuanya mengatakan harus kembali berangkat kerja. Sebab, dalam tiga hari ini, tamu terus berdatangan. Ketika ditanya soal foto terduga bom Poso, pria bertubuh kekar ini menyatakan, belum yakin. “Saya belum yakin, itu adik saya. Harus tunggu DNA,” ujarnya.
Arif, di kampungnya dikenal sebagai pemuda pendiam. Sehari-hari bekerja sebagai penjual jamu hebal. Pada malam hari. Ia kerap berdagang asongan wedang kopi di Tempat Pelelangan Ikan di Pelabuhan Brondong, tak jauh dari rumahnya. Kegiatan itu, sudah ditekuni, empat tahun terakhir ini.
Baca Juga:
Di tempatnya bekerja, Arif juga tak banyak omong. Pendiam, dan tidak masuk kategori aktif bicara. Jika pulang kerja, biasanya langsung masuk rumah.
Menurut Hery, tetangganya, Arif, jarang sekali berbaur dengan tetangganya. Sesekali , kata dia, Arif bersantai di depan rumah. “Kadang kalau duduk di rumah saya, sambil main handphone,” ujarnya.
Pendidikan formal Arif juga minim. Yaitu tamat Sekolah Menengah Pertama Negeri Paciran pada 1994. Bahkan, selama tiga tahun sekolah, nilai akademiknya juga pas-pasan. Tidak menonjol dan tidak pula jelek. “Biasa saja,” ujar Yoyok Edy Sucahyo, teman satu kelas Arif, semasa di SMPN Paciran.
Selepas lulus SMPN, Arif tidak melanjutkan ke jenjang Sekolah Menengah Atas. Dia memilih ikut membantu kakaknya, yaitu Wahyudin dan Aziz di pelabuhan sekaligus berdagang di Tempat Pelelangan Ikan di Brondong. Arif, juga membantu Ibunya berdagang jamu herbal di rumahnya.
Di luar aktivitas itu, Arif aktif mengaji di sebuah pondok bernama Al Ikhlas di Desa Sedayu Lawas, Kecamatan Brondong, Lamongan. Guru ngajinya bernama Ustad Dipo. Kabarnya dari mengaji di tempat itulah, Arif dikenalkan santriwati bernama Siti Fatimah alias Musdalifah. Mereka akhirnya menjadi suami istri sekitar satu tahun lalu.
SUJATMIKO