TEMPO.CO, Jakarta - Calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi atau Capim KPK, Harli Siregar, membantah isu yang menyatakan aparat penegak hukum (APH) berpotensi tidak netral jika menjadi petinggi di lembaga antirasuah. Menurut Harli semuanya akan kembali terhadap asas equality before the law atau berkedudukan sama di mata hukum.
"Semua kan berpulang kepada prinsip hukum. Ya harus netral dong, emang (netralitas saya) masih diragukan?" kata Harli saat ditemui di Gedung 3, Kementerian Sekretariat Negara, Selasa, 17 September 2024.
Kehadiran Harli di Kementerian Sekretariat Negara, menjadi bagian dari proses seleksi wawancara Capim KPK. Dia bersama 19 capim lainnya akan melalui proses ini, durasi wawancara berlangsung selama 40 menit, dengan tujuan mengetahui rekam jejak hingga persoalan personal mereka.
Harli sudah mengetahui bahwa banyak yang mengkritik dirinya selaku jaksa namun ikut berpartisipasi sebagai Capim KPK. Dia menegaskan, sebagai penegak hukum tentunya sikap netral dan tunduk terhadap hukum harus dilakukan. Sebab itu, tidak ada permasalahan jika dirinya ikut proses seleksi sebagai calon petinggi di lembaga antirasuah itu.
"LSM (yang mengkritik) itu juga pasti ada kelompoknya, termasuk kita, termasuk teman-teman kepolisian, siapa saja. Namun saya kira kita harus netral ya," kata Harli.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaaan Agung ini, meminta jangan meragukan netralitas aparat penegak hukum jika menjadi bagian dari KPK, sebab menurut dia, kolaborasi dalam penegakan hukum itu diperlukan untuk memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia.
Harli menyebut, kolaborasi dengan APH bisa memudahkan proses memberantas korupsi, termasuk untuk ranah monitoring, koordinasi, penyelidikan dan bahkan eksekusi. Hal ini yang menurut dia harus dibangun secara bersama-sama.
"Misinya KPK kan bersama elemen masyarakat menjadikan Indonesia bebas dari korupsi. Dari misinya ini salah satunya adalah dengan berkolaborasi dengan aparat penegak hukum. KPK harus memiliki kewenangan yang kuat untuk itu," ucap Harli.
Sebelumnya, peneliti Indonesia Corruption Watch atau ICW, Diky Anandya mengatakan bahwa dominasi aparat penegak hukum baik dari kepolisian maupun kejaksaan sebagai Capim KPK berpotensi mengundang persepsi publik ihwal dugaan intervensi terhadap panitia pelaksana lembaga antirasuah itu.
“Intervensi dapat berasal dari pihak mana pun, misalnya, kalangan eksekutif atau mungkin pimpinan aparat penegak hukum," katanya dalam keterangan tertulis, Rabu, 11 September 2024.
Selain itu, Ahli Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar mengkritisi besarnya proporsi aparat penegak hukum dalam deretan calon pimpinan atau Capim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dari 20 orang Capim, terdapat 9 orang yang berasal dari kalangan polisi dan jaksa.
Menurut pria yang akrab disapa Uceng itu, terdapat paradigma keliru yang telah dipelihara sedari awal seleksi. Kekeliruan itu, kata dia, berupa pandangan bahwa di dalam KPK harus ada unsur polisi dan jaksa. Dia juga melihat gejala intervensi yang besar kepada Pansel dalam proses seleksi Capim KPK.
Uceng menekankan, potensi untuk berlaku tidak independen akan lebih besar jika pimpinan KPK berasal dari kalangan penegak hukum. "Apalagi kita tahu ada semacam 'penugasan' ke KPK, kan," kata Uceng, saat dihubungi Tempo, Ahad, 15 September 2024.
Pilihan Editor: Mahfud MD Sebut Negara Hukum Lemah Karena Oligarki dan Kleptokrasi, Apa Maksudnya?
Annisa Febiola dan Novali Panji, berkontribusi dalam penulisan artikel ini.