TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemilihan Umum atau KPU RI menyatakan terdapat 41 daerah yang memiliki calon tunggal dan akan melawan kotak kosong dalam pemilihan kepala daerah atau Pilkada 2024. Dalam pendaftaran pasangan calon kepala daerah pada 27-29 Agustus 2024, ada 43 calon tunggal yang terdiri dari satu provinsi (Papua Barat) dan 42 kabupaten/kota.
Karena itu, KPU kemudian memperpanjang masa pendaftaran hingga 4 September. Setelah perpanjangan pendaftaran calon kepala daerah Pilkada 2024, ada dua daerah yang memiliki dua pasangan calon.
“Yang awalnya pada tanggal 27-29 Agustus 2024 hanya satu pasangan calon, kini sudah dua pasangan calon, yaitu di Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo dan Kabupaten Kepulauan Sitaro, Provinsi Sulawesi Utara,” kata Komisioner KPU Idham Holik pada 5 September 2024.
Fenomena banyaknya calon tunggal dan kotak kosong di Pilkada 2024 itu mendapat tanggapan dari berbagai kalangan, dari peneliti hingga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
1. Peneliti TII Felia Primaresti: Kotak Kosong Adalah Bentuk Inkonsistensi Demokrasi
Peneliti bidang politik The Indonesian Institute (TII) Felia Primaresti mengatakan adanya kotak kosong di Pilkada 2024 merupakan bentuk inkonsistensi demokrasi.
“Esensi demokrasi itu adalah menciptakan pilihan sebanyak-banyaknya. Tanpa kompetisi, esensi demokrasi berkurang karena tidak ada ruang untuk debat atau evaluasi atas berbagai alternatif,” kata Felia dalam keterangan yang diterima di Jakarta pada Senin, 9 September 2024 seperti dikutip dari Antara.
Dia menuturkan fenomena kotak kosong juga mencerminkan kegagalan partai politik dalam mempersiapkan kader yang kompeten untuk bersaing di tingkat daerah.
“Fenomena seperti ini bisa terjadi karena partai politik tidak serius dalam mempersiapkan kader yang kompeten, dan kemudian juga diperparah dengan munculnya satu koalisi besar yang seolah mengaburkan pilihan dan persaingan yang kompetitif,” ujarnya.
Felia menegaskan hasil pilkada yang melibatkan kotak kosong dapat menimbulkan pertanyaan tentang legitimasi pemimpin terpilih. Apalagi, bila banyak pemilih yang memilih kotak kosong. Menurut dia, hal itu dapat melemahkan hubungan antara pemimpin dan rakyat, serta memperburuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi politik.