TEMPO.CO, Jakarta - Juru bicara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP, Cyril Raoul Hakim, mengatakan aneh apabila Putusan Mahkamah Konstitusi dikoreksi oleh lembaga lain, termasuk DPR RI.
“Tentu tidak masuk akal apabila sebuah putusan MK kemudian dikoreksi lagi oleh lembaga lain, apapun itu lembaganya,” kata pria yang akrab disapa Chico Hakim saat dihubungi Tempo, Rabu, 21 Agustus 2024.
Chico mengatakan aneh apabila putusan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga hukum tertinggi suatu negara diabaikan. PDIP berharap semua pihak mematuhi putusan MK. Chico mengatakan DPR seharusnya tidak mencederai demokrasi dan menjalankan fungsinya.
“Kita lihat saja karena Putusan MK kita lihat sangat progresif dan berpihak pada rakyat dan demokrasi, yaitu memberikan ruang untuk adanya keberagaman dalam pilihan di 2024,” ujar Chico.
Anggota DPRD DKI Fraksi PDIP, Gilbert Simanjuntak, menyebut upaya Baleg DPR RI mengakali syarat usia calon kepala daerah dan ambang batas suara sangat tidak bermutu. Padahal, kata Gilbert, sudah jelas acuan Mahkamah Konstitusi adalah Undang-Undang Dasar, sedangkan acuan Mahkamah Agung adalah Undang-Undang. Sedangkan, DPR hendak merevisi Undang-Undang yang dikoreksi Mahkamah Konstitusi lewat putusannya.
“Sepatutnya pemerintah menghormati MK karena hakimnya ada tiga yang berasal dari unsur pemerintah dan tiga atas usul DPR, dan UU yang mengatur MK juga produk pemerintah dan DPR,” kata Gilbert kepada Tempo.
Selain itu, Gilbert juga mempertanyakan draf RUU Pilkada yang hanya memperbolehkan partai non-parlemen untuk ambang batas 7,5 persen suara sah Daftar Pemilih Tetap (DPT) untuk mencalonkan kepala daerah.
“Putusan MK tidak berbunyi demikian, sama DPR dibuat hanya parpol yang tidak mendapat kursi atau non-parlemen. Karena putusan MK adalah 7,5 persen di DPRD, artinya yang masuk parlemen atau tidak, tidak jadi pertimbangan,” kata Gilbert.
Gilbert mengatakan Pemerintah harusnya tidak mengajukan perubahan dengan mengusulkan usia pencalonan sesuai tanggal pelantikan seperti putusan MA. Sebaliknya, kata dia, Pemerintah sepatutnya menghormati MK yang merupakan produk UUD.
“Pemerintah dan DPR saat ini kehilangan wibawa dan pesona, tidak berfungsi sebagai penjaga bangsa dan negara tapi sebagai penjaga keluarga. Ini bentuk arogansi terparah semenjak Reformasi, Orde Baru saja menghormati aturan main,” ujar Gilbert.
DPR RI dan Pemerintah ditengarai berupaya menganulir dua Putusan Mahkamah Konstitusi yang dibacakan 20 Agustus lalu, yakni Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah untuk partai politik. Melalui putusan ini, partai politik atau partai politik gabungan yang tidak mendapatkan kursi di DPRD tetap bisa mencalonkan calon gubernur dan wakil gubernur selama memenuhi perolehan suara yang disyaratkan MK.
Ada empat klasifikasi besaran suara sah berdasarkan putusan MK, yaitu; 10 persen, 8,5 persen, 7,5 persen dan 6,5 persen, sesuai dengan besaran DPT di daerah terkait. Syarat besaran suara sah untuk Jakarta adalah 7,5 persen.
Ketentuan ini kemudian dimasukkan di dalam draf Pasal 40 RUU Pilkada. Namun, panitia kerja DPR RI hanya menyepakati penurunan syarat ambang batas Pilkada hanya berlaku bagi partai yang tak memiliki kursi DPRD. Dalam Daftar Inventarisasi Masalah yang dibacakan dalam rapat Panja RUU Pilkada, partai politik yang mendapatkan kursi parlemen daerah tetap menggunakan syarat lama ambang batas Pilkada.
“Partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki kursi di DPRD dapat mendaftarkan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan,” bunyi ketentuan tersebut.
Sementara itu, DPR RI menolak Putusan Mahkamah Konstitusi yang memutuskan batas usia minimum calon kepala daerah dihitung sejak penetapan pasangan calon. Alih-alih mematuhi Putusan MK, DPR memilih mengikuti Putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/HUM/2024. Putusan MA menyebutkan batas usia 30 tahun untuk calon gubernur dan 25 tahun untuk calon bupati atau wali kota diubah menjadi berlaku saat pelantikan kepala daerah terpilih.
Putusan ini menuai polemik karena dianggap menjadi karpet merah untuk Kaesang maju di Pilkada. Saat ini usia Kaesang 29 tahun. Ia akan genap berusia 30 tahun pada Desember 2024 atau empat bulan setelah masa pendaftaran calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dibuka. Namun, DPR RI tetap menyetujui Putusan MA yang menguntungkan Kaesang.
"Setuju ya merujuk pada putusan Mahkamah Agung, ya? Lanjut?” tanya Wakil Ketua Baleg DPR RI Achmad Baidowi saat memimpin rapat Panitia Kerja (Panja) RUU Pilkada.
Rumusan DIM nomor 72 yang disetujui Panja RUU Pilkada itu berbunyi usia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan calon wakil gubernur, serta 25 tahun untuk calon bupati dan calon wakil bupati, serta calon walikota dan calon wakil walikota terhitung sejak pelantikan pasangan terpilih.
Pembahasan DIM syarat usia ini sempat diwarnai perdebatan fraksi. Anggota Baleg DPR RI Fraksi Gerindra Habiburokhman menyatakan persetujuannya agar DIM merujuk pada putusan MA.
"Mahkota putusan itu adalah amar putusan, lagipula tidak ada kewenangan institusi Mahkamah Konstitusi menegasikan putusan Mahkamah Agung. Jadi keputusan MA tetap mengikat," kata Habiburokhman.
Sementara itu anggota Baleg DPR RI Fraksi PDIP, TB Hasanuddin, menyampaikan keberatan. Ia menilai seharusnya DIM merujuk pada putusan MK karena yang akan maju merupakan calon gubernur, maka pembatasan usia harusnya dipatok saat penetapan.
"Jadi teorinya karena calon, ya waktu pendaftaran, penetapan, daftar dan kemudian ditetapkan. Menurut hemat kami, saya baru membaca dan logikanya masuk," ucapnya.
PDIP menjadi satu-satunya fraksi yang menolak DIM ini.
Pilihan Editor: DPR Abaikan Putusan MK soal Ambang Batas Pilkada, Perludem: Wakil Rakyat Tak Bersuara seperti Suara Rakyat
SULTAN ABDURRAHMAN