INFO NASIONAL -
Ketua MPR RI ke-16, Bambang Soesatyo, yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Partai Golkar, menegaskan pentingnya mengkaji ulang UUD NRI 1945 setelah lebih dari dua dekade reformasi. Dalam pembukaan Seminar Hari Konstitusi yang diadakan di Gedung Parlemen Jakarta pada Ahad, 18 Agustus 2024, Bambang Soesatyo, menyampaikan bahwa MPR RI akan merekomendasikan usulan amendemen UUD NRI 1945 kepada MPR RI periode 2024-2029.
Menurut Bamsoet, amendemen terhadap UUD 1945 yang dilakukan pada periode 1999 hingga 2002 telah mengubah sistem ketatanegaraan Indonesia secara fundamental. Salah satu perubahan terbesar adalah reposisi MPR yang tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara dengan segala kewenangan superlatifnya. Meskipun demikian, MPR masih memegang kewenangan konstitusional tertinggi dalam hal mengubah dan menetapkan UUD, serta memberi putusan akhir pada proses pemakzulan presiden atau wakil presiden.
"Setelah 26 tahun reformasi menghantarkan euforia demokrasi, kini mulai muncul wacana untuk mengkaji kembali opsi amendemen terhadap UUD NRI 1945, termasuk dari para tokoh bangsa. Tujuannya untuk mengoreksi kembali hasil amendemen konstitusi yang telah dilakukan selama periode 1999 hingga 2002. Untuk itu, MPR periode 2019-2024 akan merekomendasikan kepada MPR yang akan datang agar melakukan kajian mendalam dan menyeluruh terhadap usulan amandemen UUD NRI 1945," ujar Bamsoet dalam pidatonya.
Hadir sebagai narasumber dalam seminar tersebut antara lain Jimly Asshiddiqie, Yudi Latief, dan Jimmy F. Usunan. Selain itu, Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid dan Fadel Muhammad juga turut hadir, menambah bobot diskusi mengenai masa depan konstitusi Indonesia.
Bamsoet, yang juga pernah menjabat sebagai Ketua DPR RI ke-20 dan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan, menjelaskan bahwa MPR telah mendapatkan berbagai aspirasi terkait wacana amendemen UUD NRI 1945. Aspirasi tersebut mencakup beberapa opsi, antara lain: amendemen terbatas terkait kewenangan MPR membentuk Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN), penyempurnaan atau pengkajian menyeluruh terhadap UUD Tahun 1945 hasil amendemen sebelumnya, dan kemungkinan kembali ke UUD 1945 yang asli dengan adendum. Ada pula opsi untuk tidak melakukan amendemen sama sekali karena UUD NRI Tahun 1945 yang saat ini berlaku dianggap masih relevan.
"Urgensi untuk meninjau kembali konstitusi salah satunya berangkat dari kekhawatiran bahwa masih ada banyak celah yang ditinggalkan UUD NRI 1945 yang berlaku saat ini," tambah Bamsoet. Ia menekankan bahwa UUD NRI 1945 pasca reformasi tidak memiliki "pintu darurat" jika terjadi kebuntuan konstitusi atau politik, terutama dalam situasi darurat negara yang dapat menghambat pelaksanaan Pemilu tepat waktu.
Bamsoet mengungkapkan keprihatinannya tentang kurangnya ketentuan hukum yang mengatur tata cara pengisian jabatan publik jika hasil Pemilu tidak dapat diselesaikan sesuai jadwal. Misalnya, pergantian anggota DPR dan DPD yang seharusnya terjadi pada 1 Oktober, serta pelantikan presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober setiap lima tahunnya. "Bagaimana jika keadaan darurat negara menyebabkan pelaksanaan Pemilu tidak dapat diselesaikan tepat waktu sesuai perintah konstitusi? Maka secara hukum, tentunya tidak ada anggota legislatif, presiden, dan atau wakil presiden yang terpilih sebagai produk Pemilu," tegasnya.
Bamsoet, yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan FKPPI, menekankan pentingnya UUD NRI 1945 memberikan jalan keluar konstitusional untuk mengatasi kebuntuan ketatanegaraan atau "constitutional deadlock." Menurutnya, dalam situasi darurat, prinsip kedaulatan rakyat harus dikedepankan. "Sebagai representasi dari prinsip kedaulatan rakyat, maka seharusnya MPR kembali memiliki kewenangan subjektif superlatif, sehingga dengan kewenangan tersebut dapat mengambil keputusan atau penetapan yang bersifat regeling guna mengatasi dampak dari keadaan kahar fiskal maupun politik yang tidak dapat diantisipasi dan dikendalikan secara wajar," kata Bamsoet.(*)