TEMPO.CO, Jakarta - Fenomena kotak kosong disebut akan membanjiri pemilihan kepala daerah atau Pilkada 2024. Kondisi ini terjadi apabila hanya ada satu pasangan calon alias paslon yang mengikuti kontestasi. Pemilih hanya disodorkan dua opsi, memilih paslon atau kotak kosong. Lantas, bagaimana jika ternyata kotak kosong yang menang?
Pilkada melawan kotak kosong dilaksanakan dengan beberapa syarat. Merujuk Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, salah satunya bila setelah dilakukan penundaan dan sampai dengan berakhirnya masa perpanjangan pendaftaran, hanya terdapat satu paslon yang mendaftar.
Kemudian, jika paslon tunggal tersebut lulus tahapan verifikasi, pilkada diselenggarakan dengan melawan kotak kosong. Paslon lalu dinyatakan menang apabila mendapatkan suara lebih dari 50 persen suara sah. Adapun paslon dinyatakan kalah apabila kotak kosong-lah yang mendapatkan suara melebihi persentase 50 persen.
Fenomena kotak kosong lebih unggul dari paslon pernah terjadi di Pilkada Makassar 2018. Pilkada ini diikuti paslon tunggal Munafri Arifuddin-Rachmatika Dewi yang diusung partai Golkar. Pilkada ini menghadirkan paslon tunggal lantaran paslon petahana Mohammad Ramdhan Pomanto dan Indira Mulyasari didiskualifikasi oleh Mahkamah Agung.
Pilkada yang digelar pada 27 Juni 2018 untuk memilih calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Makassar itu hanya diikuti 584.406 pemilih dari total 1.021.714 jiwa daftar pemilih tetap. Dari jumlah tersebut, sebanyak 300.795 atau 53,23 persen suara memilih kotak kosong. Sementara Munafri-Rachmatika mendapat suara 264.245 atau 46,77 persen.
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Evi Novida saat itu mengatakan aturan mengenai perolehan suara pada daerah pemilihan yang hanya memiliki calon tunggal telah ada dalam Peraturan KPU. Hal itu juga termasuk jika kotak suara kosong memiliki suara lebih banyak dari pasangan calon tunggal dalam pilkada.
“Apabila perolehan suara pada kolom kosong lebih banyak dari perolehan suara pada kolom foto pasangan calon, maka KPU daerah akan menetapkan pemilihan kembali pada pilkada serentak periode berikutnya,” ujar Evi dalam pesan singkat kepada Tempo, Rabu, 27 Juni 2018.
Evi menjelaskan hal semacam ini sudah diatur dalam Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2018. Penetapan pemilihan ulang jika suara kolom kosong lebih banyak, maka dapat dilaksanakan di tahun berikutnya. “Atau dilaksanakan sebagaimana jadwal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” ujarnya.
Saat menunggu pilkada ulang pada tahun berikutnya, maka akan ada kekosongan jabatan di daerah yang bersangkutan. Evi menuturkan kekosongan ini akan diisi oleh pejabat yang ditunjuk Kementerian Dalam Negeri. “KPU daerah akan berkoordinasi dengan kementerian yang membidangi urusan dalam negeri untuk penugasan pejabat gubernur, bupati, atau wali kota,” kata dia.
HAURA HAMIDAH | TIM TEMPO
Pilihan Editor: Bahaya Kotak Kosong: Minim Pilihan Gagasan untuk Masyarakat