TEMPO.CO, Jakarta - Pakar Hukum Tata Negara Mahfud Md., menyatakan tak pernah mendapat tawaran dari presiden terpilih Prabowo Subianto untuk masuk kabinet dalam pemerintahan mendatang. Mahfud juga mengatakan usai pemilihan presiden atau Pilpres 2024 belum bertemu dan berbicara dengan Prabowo.
“Tidak ada,” kata Mahfud saat ditemui di Universitas Paramadina, Jakarta, pada Sabtu, 27 Juli 2024. Mahfud Md pada Pilpres 2024 menjadi calon wakil presiden mendampingi calon presiden Ganjar Pranowo. Duet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka memenangi Pilpres 2024.
Sebelum maju menjadi wakil, Mahfud juga menjabat Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan di periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Mahfud berharap pemerintahan ke depan akan lebih baik.
Pemerintahan akan baik, kata dia, kalau sejak awal ada seleksi bagi calon pejabat publik. Ia berharap Prabowo memanfaatkan momentum pemerintahan baru untuk memperbaiki sistem bernegara.
“Ada momentum periode politik baru untuk memulai memperbaiki. Tidak usah saling menyalahkan. Saya optimis dengan Pak Prabowo,” kata Mahfud.
Setelah Komisi Pemilihan Umum atau KPU menetapkan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai presiden dan wakil presiden terpilih pemenang Pilpres 2024, muncul topik perbincangan publik mengenai wacana penambahan nomenklatur kementerian dari 34 menjadi 40 di pemerintahan Prabowo-Gibran.
Wacana tersebut mendapat tanggapan dari berbagai pihak, termasuk dari pakar hukum tata negara. Yusril Ihza Mahendra, pakar hukum negara, mendukung jika presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menambah nomenklatur kementerian.
Dia mengatakan penambahan itu bisa dilakukan dengan cara merevisi Undang-Undang Kementerian Negara. "Dapat saja (nomenklatur kementerian) ditambah, tetapi dengan amandemen UU Kementerian Negara," kata Yusril dalam rilis resmi yang diterima pada Selasa 7 Mei 2024.
Di sisi lain, pakar hukum tata negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, mengatakan penambahan jumlah kementerian akan melanggar Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
“Di Undang-Undang a quo diatur maksimal 34 menteri. Kalau mau menambah, harus mengubah dulu undang-undangnya,” kata Herdiansyah saat dihubungi Tempo, Selasa, 7 Mei 2024.
Pilihan editor: PKB dan PKS Bilang Begini soal Syarat PAN Dukung Anies di Pilkada Jakarta