Dengan bergabungnya mereka, estimasi pesan dapat mencapai 150 hanya dalam 2 x 24 jam. Berdasarkan hal itu, mereka merasa memerlukan suatu sistem yang dapat memonitor aduan yang masuk, menjadi standar bagi kualitas konsultasi hukum yang kami berikan, serta memastikan akuntabilitas dari profesi mereka.
”Saat itu kami bertiga mulai set up e-mail sehingga berbagai aduan via DM bisa di-pool dan track lebih baik via e-mail,” kata Veda.
Inisiatif mereka bertiga terus terekspos di media sosial, dan kemudian semakin banyak pengacara menghubunginya untuk menawarkan bantuan. Lagi-lagi, secara cuma-cuma. Pada saat inilah, mereka memutuskan mendirikan Kolektif Advokat Keadilan Gender (KAKG).
Menurut Veda, pengaduan didominasi Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) di masa pandemi. KBGO ini difasilitasi teknologi dapat didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan melalui medium teknologi dengan niatan atau maksud melecehkan korban berdasarkan gender atau seksual.
“Saat pandemi banyak yang menghabiskan waktunya dengan memanfaatkan teknologi diduga memunculkan penyebaran konten intim nonkonsensual disusul pemerasan berbasis konten intim,” tutur jebolan Fakultas Hukum, Universitas Indonesia 2015 itu.
Veda menambahkan, KAKG menggunakan pendekatan holistik sebagai pilar dasar. Ini mencakup layanan konsultasi atau pendampingan hukum; rujukan ke mitra untuk pemulihan psikis atau medis; dan rujukan untuk rumah aman.
Peraih penghargaan SATU Indonesia Awards dari Astra ini menjelaskan, sikap KAKG dalam menghadapi keputusan pencabutan aduan tersebut adalah menghormati keputusan korban.