Beranda Perempuan mendampingi RM dan 8 mahasiswa korban dari Unja lainnya sebagai saksi atas laporan kasus TPPO. Dugaan TPPO dilaporkan oleh mahasiswa korban dari Universitas Sebelas Maret, mereka mengalami kondisi kerja yang buruk, beban kerja berat dan jam kerja panjang selama di Jerman.
Dua agensi di Indonesia yang menjadi aktor di balik TPPO ini adalah PT CV-GEN dan PT Sinar Harapan Bangsa (SHB). Agensi ini menggandeng universitas-universitas dengan klaim bahwa Ferienjob merupakan bagian dari program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MKBM). Mereka menawarkan akan memberikan dana program tanggung jawab sosial untuk kampus.
PT SHB berperan mengurus dokumen, mendapatkan surat penerimaan dari perusahaan di Jerman (Letter of Acceptance), kontrak kerja dari perusahaan, working permit, hingga pengajuan visa ke otoritas Jerman. Mahasiswa yang telah lolos seleksi lantas disalurkan melalui agen Runtime, RAJ dan Brisk di Jerman untuk bekerja di perusahan-perusahan penempatan.
Proses pemberangkatan menjebak mahasiswa dalam jeratan utang, melalui skema dana talangan. Mahasiswa dibebankan utang biaya tiket pesawat dengan harga dua kali lipat dari harga normal. Ditambah 5 persen bunga dan pinjaman untuk biaya akomodasi.
Jika dihitung totalnya, mahasiswa harus membayar sekitar Rp 30 sampai Rp 50 juta. Utang inilah harus dibayar dengan cara dicicil dari upah mahasiswa setelah bekerja.
Pada kenyataannya di Jerman, mahasiswa harus bekerja kasar. Mulai dari pelayan restoran, menyortir paket, mengemas dan mengantar paket. Mereka dipekerjakan di beberapa perusahaan yang kekurangan tenaga kerja fisik seperti restoran cepat saji, kafe, perusahan pengiriman barang, dan lokapasar atau e-commerce. Artinya, jenis-jenis pekerjaan ini sama sekali tidak berhubungan dengan konsentrasi kuliah mahasiswa.
Selain itu, mahasiswa juga mendapatkan tekanan dan intimidasi terus-terusan. Bahkan, beberapa korban mendapat somasi dari agensi karena tak mampu membayar utang.
Salah satu mahasiswa dari Institut Kesehatan Deli Husada dikeluarkan setelah melaporkan kasus yang menimpanya ke Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Jerman. Tak hanya itu, salah satu mahasiswa dari Universitas Binawan diistirahatkan sementara atau cuti karena tidak membayar dana talangan. Di luar itu, banyak korban yang belum berani menyuarakan kasus karena tekanan-tekanan dan tidak adanya jaminan keamanan jika melapor.
Meskipun polisi telah menetapkan lima tersangka dari PT SHB dan PT CV-GEN, Beranda Perempuan serta Beranda Migran menegaskan kasus ini harus diusut hingga ke akarnya. "Ribuan korban kasus ini masih berstatus mahasiswa. Mereka terjebak pada program magang bodong ini, karena ada campur tangan dari universitas di mana tempat mahasiswa menuntut ilmu," sebagimana dikutip dalam keterangan resminya pada Senin, 25 Maret 2024.
Dalam kasus ini, mahasiswa telah diperlakukan sebagai objek percobaan pendidikan untuk mencukupi kebutuhan tenaga kerja manual di Jerman. Fakta ini dinilai merupakan cerminan dari sistem pendidikan Indonesia yang menempatkan universitas sebagai mesin pencetak tenaga kerja murah.
"Dengan program magang ini, universitas justru berperan menjadi promotor perdagangan mahasiswa. Universitas telah abai dan lalai dalam menjamin keamanan dan perkembangan proses belajar mahasiswa."
Beranda Perempuan dan Beranda Migran menyatakan, universitas seharusnya juga mempertanggungjawabkan kebijakan dan program yang diberlakukan kepada mahasiswa korban.
Di sisi lain, program MBKM disebut membuka celah yang membuat mahasiswa jadi sasaran empuk para sindikat perdagangan orang. "Dengan dalih mempersiapkan mahasiswa untuk masuk ke dunia kerja, pemerintah justru melanggengkan komodifikasi mahasiswa sebagai tenaga siap pakai sangat rentan untuk dieksploitasi."
Pilihan Editor: Apa itu Ferienjob, Program Kerja yang jadi Wadah Perdagangan Mahasiswa Indonesia di Jerman