INFO NASIONAL -
Riki Nasrullah
Istilah 'pembangunan berkelanjutan' telah menjadi sorotan utama dalam perbincangan global saat ini. Sebuah pencarian sederhana di mesin pencari mengungkapkan betapa intensnya perhatian masyarakat terhadap diskursus ini, dengan lebih dari 28 juta hasil untuk kata kunci “pembangunan berkelanjutan” dan 970 juta untuk kata kunci “sustainable development”. Konsepsi “pembangunan berkelanjutan” menurut definisinya, menandakan suatu perspektif futuristik dalam mempertimbangkan bumi sebagai rumah bagi seluruh umat manusia, bukan hanya untuk generasi saat ini, tetapi juga untuk generasi mendatang.
Pembangunan berkelanjutan sangat erat kaitannya dengan dokumen Sustainable Development Goals PBB (selanjutnya disebut SDGs) yang telah banyak dibahas. Ke-17 SDGs yang menyentuh semua aspek utama kehidupan, penghidupan, dan kesejahteraan mewakili cetak biru yang telah disepakati secara global untuk mencapai tujuan dan target tertentu pada tahun 2030. Pada tahun 2015, SDGs menggantikan tujuan sebelumnya yang dikenal sebagai Millenium Development Goals.
Mungkin, menjadi hal yang anomaly untuk mencapai pembangunan (berkelanjutan) tanpa pendidikan. Oleh karenanya, pendidikan akhirnya diintegrasikan ke dalam SDGs sebagai domain keempat, dengan nomenklatur 'pendidikan berkualitas'. Bagian ini sangat penting, mengingat hanya pendidikan dan pembelajaran yang berkualitaslah yang dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi sebuah pembangunan. Penekanan pada kualitas juga dapat mengakui bahwa meskipun telah ada kemajuan penting dalam kuantitas pendidikan yang diukur dengan, antara lain, peningkatan partisipasi sekolah yang terus menerus, hal ini kerap kali tidak disertai dengan perhatian yang cukup terhadap kualitas dari capaian pembelajaran yang telah ditetapkan.
‘Keheningan’ Isu Bahasa dalam Dokumen Perencanaan Nasional
Pertanyaan mengenai hubungan antara bahasa dan pembangunan berkelanjutan kerap muncul, tetapi untuk menjawabnya tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Menariknya, bahasa tidak ditempatkan secara eksplisit dalam 17 tujuan SDGs. Dalam dokumen PBB yang berjudul 'Transforming our world: the 2030 Agenda for Sustainable Development', kata 'language' hanya disinggung sekilas dalam bagian tertentu yang tampaknya tidak secara langsung terkait dengan upaya pembangunan. Apa yang dapat kita maknai dari fenomena tersebut? Bisa jadi bahasa dianggap sebagai sesuatu yang begitu melekat dalam setiap aspek kehidupan sehingga kehadirannya dirasakan begitu alami, tidak memerlukan penekanan eksplisit. Sebaliknya, mungkin ada pandangan bahwa bahasa dianggap periferal, tidak setara dengan isu-isu substansial yang berkaitan dengan keberlanjutan dan pembangunan.
Dalam merangkai fondasi pembangunan berkelanjutan di Indonesia, ‘keheningan’ isu bahasa dalam dokumen perencanaan nasional tampaknya telah menjadi paradoks. Pada pandangan sekilas, bahasa hanya menjadi latar belakang periferal yang tidak terlalu substantial. Namun pada kenyataannya, bahasa memainkan peran sentral dalam membentuk identitas, memelihara kekayaan budaya nasional, dan memastikan keberlanjutan pembangunan di Indonesia.
Kongres Bahasa Indonesia XII pun merekomendasikan penetapan payung hukum yang lebih tegas untuk pengelolaan bahasa, sastra, dan literasi. Langkah ini mendukung visi Indonesia Emas 2045 dan perlu diintegrasikan ke dalam dokumen strategis, seperti RPJPN, RPJMN, dan RKP di tingkat pusat dan daerah. Integrasi ini tidak hanya simbolis, melainkan esensial untuk dukungan politis dan finansial dalam pembangunan bahasa di Indonesia. Dengan mengintegrasikan program bahasa ke dalam perencanaan pembangunan, Indonesia memastikan bahasa menjadi bagian tak terpisahkan dari setiap langkah strategis menuju pembangunan berkelanjutan, menggantikan 'keheningan' isu bahasa dengan fondasi kokoh bagi kemajuan bangsa menuju Indonesia Emas 2045.
Indeks Pembangunan Bidang Kebahasaan di Indonesia
Indonesia sedang menghadapi sejumlah permasalahan yang memerlukan intervensi bidang kebahasaan. Perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat, misalnya, telah berpengaruh terhadap perkembangan kebahasaan dan kesastraan. Alvin Toffler memprediksi adanya kemungkinan yang terjadi seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi. Menurutnya, ‘kehancuran’ empat sistem kehidupan manusia akan terjadi seiring dengan masifnya produk teknologi dan informasi. Keempat sistem kehidupan yang dimaksunya itu ialah teknosfer, infosfer, sosiosfer, dan psikosfer. Setiap jenis perkembangan teknologi dapat melahirkan lingkungan teknologi yang khas, yakni teknosfer. Teknologi informasi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari teknosfer dapat mewarnai lapisan infosfer, yakni budaya pertukaran informasi di antara masyarakat. Infosfer pada gilirannya juga akan membentuk dan mengubah sosiosfer, yakni norma-norma sosial, pola-pola interaksi, dan organisasi-organisasi kemasyarakatan. Karena manusia adalah makhluk sosial, perubahan sosiosfer dapat mengubah cara berpikir, cara merasa, dan cara berperilaku, yakni psikosfer. Semua kehidupan baru yang diakibatkan oleh perkembangan teknologi informasi tersebut, secara langsung atau tidak, akhirnya akan dapat berpengaruh juga terhadap lanskap kebahasaan, atau yang dapat kita sebut sebagai ‘linguasfer’.
Seluruh permasalahan tersebut menuntut adanya penanganan secara tepat dan akurat. Jika tidak, permasalahan di atas lambat laun akan menjadi malapetaka bagi bangsa ini. Sebetulnya, Indonesia telah menunjukkan komitmen serius dalam memajukan pembangunan di bidang kebahasaan dan kesastraan. Baik pemerintah maupun sektor swasta telah memberikan kontribusi besar untuk mewujudkan visi tersebut. Namun, sejauh mana kemajuan yang telah dicapai dalam pembangunan kebahasaan di Indonesia? Penting untuk dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap upaya-upaya strategis yang telah dilakukan.
Kehadiran Indeks Pembangunan bidang Kebahasaan akhirnya menjadi krusial untuk memberikan pandangan yang komprehensif terhadap status quo dan potensi pembangunan kebahasaan di Indonesia. Dengan memiliki indeks ini, kita akan dapat mengidentifikasi keberhasilan, tantangan, dan peluang yang perlu diperhatikan dalam perencanaan nasional. Indeks ini tidak hanya memberikan gambaran tentang pencapaian pembangunan kebahasaan, tetapi juga dapat diintegrasikan ke dalam dokumen-dokumen perencanaan nasional. Dengan demikian, pembangunan kebahasaan dapat menjadi bagian integral dari rencana jangka panjang dan menengah, menciptakan landasan yang kokoh untuk mewujudkan visi Indonesia sebagai bangsa yang beragam secara budaya dan bahasa.
Dalam era globalisasi ini, keberlanjutan pembangunan kebahasaan dan kesastraan tidak hanya menjadi kebutuhan lokal dan regional, tetapi juga merupakan investasi dalam identitas nasional dan memungkinkan Indonesia untuk berbicara lebih banyak di kancah internasional. Melalui evaluasi yang cermat dan penyusunan indeks yang tepat, Indonesia dapat memastikan bahwa upaya-upaya pembangunan kebahasaan yang telah dilakukan akan memberikan dampak yang signifikan dalam mencapai pembangunan berkelanjutan secara menyeluruh.
(*)