TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) telah membentuk Majelis Kehormatan MK (MKMK). Juru bicara Bidang Perkara MK, Enny Nurbaningsih menyatakan tujuan pembentukan MKMK adalah sesuai perintah undang-undang yang juga untuk menindaklanjuti laporan dugaan pelanggaran kode etik oleh Ketua MK Anwar Usman dan koleganya dalam putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023.
“Terkait dugaan pelanggaran etik, kami sudah bersepakat menyerahkan sepenuhnya ke MKMK,” ujarnya saat konferensi pers di gedung MK, Senin, 23 Oktober 2023.
Salah satu laporan berasal dari Tim Advokasi Peduli Pemilu yang menduga Ketua MK Anwar Usman melakukan pelanggaran etik karena ikut memeriksa dan memutus perkara batas usia capres-cawapres 40 tahun. Mereka menilai langkah Anwar itu untuk memperjuangkan kepentingan politik keponakannya, Gibran Rakabuming Raka. "Supaya dapat maju dalam kontestasi Pilpres 2024," kata anggota Tim Advokasi Gugum Ridho Putra.
MMK beranggotakan tiga anggota, yakni Jimly Asshidiqie eks Ketua MK, Bintan Saragih sebagai perwakilan kelompok akademikus, Wahiduddin Adams sebagai perwakilan hakim konstitusi yang masih aktif. Enny Nurbaningsih menjelaskan bahwa Komposisi ketiganya sebagai anggota majelis kehormatan diatur dalam Pasal 4 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2023 tentang MKMK.
Salah satu anggota MKMK, Wahiduddin Adams merupakan hakim yang menyatakan dissenting poin atau perbedaan pendapat soal putusan batas usia capres-cawapres minimal 40 tahun atau berpengalaman menjadi kepala daerah.
Wahiduddin mengatakan bahwa jika MK mengabulkan permohonan ini, baik seluruhnya maupun sebagian, maka yang sejatinya terjadi adalah Mahkamah melakukan praktik legislating or governing from the bench tanpa didukung alasan-alasan konstitusional yang cukup.
"Menimbang bahwa berdasarkan beberapa uraian argumentasi tersebut di atas, saya berpendapat Mahkamah seharusnya menolak permohonan pemohon," kata Wahiduddih, Senin, 16 Oktober 2023.
Mengenal Wahiduddin
Dilansir dari mkri.id, Wahiduddin lahir di Desa Sakatiga, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan pada 17 Januari 1954. Dia mengenyam ilmu Peradilan Islam, di Fakultas Syariah di Institut Agama Islam Negeri Jakarta. Ia mendapatkan gelar doktor dari universitas yang sama. Gelar Sarjana Hukum dia peroleh dari Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah pada 2005.
Pada awal kariernya, Wahid meniti profesi sebagai pegawai di Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman RI pada 1981. Selama empat tahun bekerja di sana, ia berhasil meraih kenaikan jabatan menjadi Kepala Sub Bidang Hukum Sektoral di instansi tersebut hingga 1989. Puncak kariernya di lingkungan tersebut adalah saat ia menjabat sebagai Direktur Jenderal Perundang-undangan dari tahun 2010 hingga 2014.
Selain berkecimpung dalam dunia birokrasi, Wahid juga aktif dalam berbagai organisasi. Ia pernah mengepalai Dewan Perwakilan Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) selama tiga tahun. Di samping itu, ia menjabat sebagai anggota Dewan Penasihat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Wahid juga menduduki jabatan Ketua Bidang Wakaf dan Pertanahan di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), dan ia menjadi Wakil Sekretaris Dewan Pengawas Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS).
Wahid kemudian menduduki kursi hakim konstitusi pada 2014 dengan masa jabatan hingga 2019. DPR kembali memilihnya untuk periode kedua 2019-2024 pada 9 Maret 2019.
Selain mengajukan dissenting opinion putusan batas usia capres-cawapres minimal 40 tahun atau berpengalaman menjadi kepala daerah, Wahid juga menjadi satu-satunya hakim yang dissenting opinion atau berbeda pendapat dengan hakim lain dalam gugatan formil Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2021 yang seharusnya dikabulkan.
"Berdasarkan argumentasi sebagaimana diuraikan di atas saya berpendapat bahwa Mahkamah seharusnya mengabulkan permohonan para pemohon," kata dia pada Selasa 4 Mei 2021.
ANANDA BINTANG I IHSAN RELIUBUN I M ROSSENO AJO I RIRI RAHAYU
Pilihan Editor: Profil Jimly Asshidiqie Eks Ketua MK Menjadi Anggota MKMK Tangani Kode Etik Hakim MK Anwar Usman dkk