TEMPO.CO, Batam - Lembaga Adat Melayu (LAM) Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) memberikan pernyataan berkaitan degan nasib 16 kampung adat Melayu di Pulau Rempang Galang, Batam yang terancam digusur. LAM menegaskan, masyarakat Rempang adalah suku pertama melayu yang ada di Batam.
Maklumat ini dibacakan langsung oleh Ketua LAM Kepri, Abdul Razak di Kota Tanjungpinang, Sabtu 9 September 2023. Terdapat 6 poin dalam maklumat tersebut.
Pertama, LAM Kepri sebagai payung negeri, sepenuhnya mendukung program pemerintah pusat maupun daerah di segala bidang. Kemudian, LAM Kepri meminta dibatalkannya relokasi 16 kampung tua masyarakat melayu, yang ada di Pulau Rempang dan Pulau Galang.
"Ketiga, membebaskan seluruh masyarakat yang ditahan akibat peristiwa yang terjadi pada 7 September 2023," ujar Abdul Razak saat membacakan maklumat Sabtu 9 September 2023.
Kemudian LAM Kepri mengutuk keras tindakan refresif, intimidasi dan kekerasan yang dilakukan oleh tim gabungan terhadap masyarakat Pulau Rempang dan Galang, yang terjadi pada 7 dan 8 September 2023. "Aksi refresif hingga kekerasan tersebut membuat masyarakat banyak yang mengalami cedera, trauma hingga kerugian materil," tegasnya.
Dalam maklumat ini, LAM Kepri juga mendesak Presiden RI, Kapolri, Panglima TNI, DPR RI, Kapolda Kepri, Gubernur Kepri dan instansi terkait lainnya, untuk menghentikan segala tindakan kekerasan.
"Mendesak Pemerintah membuat kesepakatan tertulis dengan masyarakat melayu Pulau Rempang dan Galang, terkait dampak jangka pendek dan jangka panjang dari proyek strategis Nasional di Pulau Rempang dan galang," kata Abdul Razak.
Abdul Razak menyampaikan, LAM tetap mendukung jika Pemerintah pusat maupun Batam melakukan investasi. Namun, ia tetap menolak jika masyarakat yang sudah tinggal ratusan tahun di Rempang dan Galang di relokasi.
"Mereka sudah tinggal di sana ratusan tahun dan turun temurun. Pemerintah juga harus fasilitasi mereka, tentang hak mereka yang sudah tinggal di sana turun temurun," ucapnya
Ketua I Lam Kepri Atmadinata melanjutkan, masyarakat Rempang sudah ada turun menurun dan beranak pinak di pulau tersebut. Mereka bahkan sudah ada sebelum BP Batam lahir pata tahun 1971.
Ia mempertanyakan, kenapa pemerintah sampai saat ini tidak memberikan legalitas kampung masyarakat Rempang tersebut. "HGU (Hak Guna Usaha) kan baru 2004 (diberikan kepada pengusaha), kenapa dulu pemerintah tidak memafasilitasi kampung halaman mereka (warga Rempang)," kata Atmadinata.
Ia juga meminta pemerintah melibatkan ahli sejarah dalam memecahkan masalah di Rempang tersebut. "Bisa kita katakan warga rempang warga melayu pertama di Batam," katanya.
Proyek Rempang
Proyek pengembangan Pulau Rempang Kota, Batam baru ditetapkan pada akhir Agustus lalu sebagai Program Strategi Nasional (PSN). Kawasan ini akan dibangun berbagai macam industri, pariwisata, hingga perumahan di bawah pengembang PT Makmur Elok Graha (MEG).
Namun, rencana itu mendapatkan penolakan dari warga tempatan yang sudah ada sejak 1934 di Pulau Rempang tersebut. Warga tidak ingin kampung halamannya dihilangkan meskipun diberikan tempat relokasi.
Pemerintah memaksa untuk tetap melakukan pembangunan. Salah satu langkah awal adalah melakukan pematokan dan pengukuran lahan di Kampung Sembulang, Pulau Rempang. Kampung ini menjadi titik awal pembangunan pabrik kaca terbesar asal Cina bernama Xinyi Group.
Beberapa minggu belakangan warga Pulau Rempang berhasil menahan petugas BP Batam untuk masuk melakukan pengukuran lahan. Karena menurut warga belum ada kesepakatan jelas hitam di atas putih.
Pada 7 September, aparat gabungan terdiri dari TNI, Polri, Satpol PP, Ditpam BP Batam, memaksa masuk. Dengan spontan warga menghadang di Jembatan 4 Barelang. Bentrok tidak bisa terelakan. Tidak hanya warga yang menahan aparat yang menjadi korban, tetapi juga murid sekolah terkena gas air mata.
YOGI EKA SAHPUTRA
Pilihan Editor: Kesaksian Warga Rempang Dapat 12 Jahitan di Kepala usai Terkena Peluru Karet Polisi