TEMPO.CO, Jakarta - Kaukus Indonesia Kebebasan Akademik (KIKA) mengatakan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 1 Tahun 2023 atau PermenPAN-RB Nomor 1 Tahun 2023 menimbulkan ketidakadilan bagi dosen.
Pengurus Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Satria Unggul Wicaksana Prakasa, mengatakan PermenPAN-RB yang digarap dengan metode omnibus ini disalahartikan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Ditjen Dikti) Kemendikbudristek. Pasalnya, Ditjen Dikti memposisikan penyelenggara Perguruan Tinggi sebagai bawahan dan bukan mitra yang sejajar.
“Kekeliruan cara pandang dan bagaimana Dikti Ristek memposisikan keberadaannya, untuk itu kami menggugat dan menolak melakukan permintaan (lebih tepatnya perintah) Dikti Ristek,” kata Satria dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 19 April 2023.
Dari respons Dikti Ristek ini dan dari cara pandang yang dibangun Dikti Ristek, terjadi adanya kesalahan pandang dalam menempatkan bagaimana Perguruan Tinggi dan dosen diperlakukan, sehingga memicu pelanggaran-pelanggaran dalam membuat aturan, kebijakan dan penerapannya.
“Selain memperlihatkan kekeliruan bahwa sistem administrasi yang dibangun selama ini, Dikti Ristek juga seolah-olah menunjukkan posisi mereka seperti Rektor dan/atau tim Sumber Daya Manusia Universitas seluruh Indonesia,” kata Satria.
Baca juga:
Menurutnya, alih-alih melakukan perubahan di dalam mekanisme penyelenggaraan Perguruan Tinggi, Ditjen Dikti Ristek justru hanya memperpanjang batas waktu pengisian aplikasi barus Sijali/Sijago. Ini menjadi lebih simpang-siur ketika daftar ulang angka kredit kinerja dosen khusus diperuntukkan Dosen ASN saja.
“Simpang siur ini terjadi karena Dikti Ristek keliru dalam memahami peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Nomor 1 Tahun 2023,” tutur dia.
Perguruan tinggi butuh otonomi
Padahal dalam Pasal 62 UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi disebutkan negara dalam penyelenggaraan pendidikan harus memperhatikan otonomi penyelenggara perguruan tinggi sebagai bagian yang inherent dari Perguruan Tinggi. Sebab, pendidikan mempunyai karakter tersendiri maka terhadap dosen diperlakukan sesuai dengan karakter otonomi tersebut.
“Sayangnya, praktek otonomi hanya berfokus kepada otonomi keuangan, dimana negara lepas tanggung jawab dalam pembiayaan, dan membiarkan perguruan tinggi mencari sumber-sumber keuangannya sendiri,” kata dia.
Padahal perguruan tinggi sejatinya membutuhkan otonomi keilmuan, yakni ruang bebas dan mandiri dalam mengembangkan ilmu pengetahuannya masing-masing.
“Inilah paradoksnya, di mana otonomi pada akhirnya dimaknai setengah hati,” kata dia.
Satria menjelaskan problem mendasar dari diterbitkannya PermenPAN-RB 1 Tahun 2023 yang menyeragamkan aspek birokrasi. Ia menyebut penyeragaman tersebut bermasalah karena secara konteks, penilaian angka kredit antara dosen dengan ASN seperti Pustakawan, Jaksa, atau pegawai ASN lainnya tentu sangat berbeda, dan tidak bisa diseragamkan.
“Mesti dipahami bahwa Penyelenggara Perguruan Tinggi adalah Mitra Dikti Ristek/Kemendikbud yang posisinya, karena mereka mitra, harus dianggap sejajar dengan Dikti Ristek. Mekanisme aturan kerja Dosen non-ASN tidak merujuk pada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, namun pada Kementerian Ketenagakerjaan,” kata Satria.