TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Rivanlee Anandar menilai penarikan aparat keamanan dari Papua tak bisa dilihat dari perspektif menentukan nasib sendiri (self determination), tapi langkah konkret pemerintah memperbaiki situasi sosial dan politik di Papua.
"Pendekatan dialogis, egaliter, dan melibatkan masyarakat tidak akan berjalan dengan baik jika militer masih siaga di sana," kata Rivanlee kepada Tempo, Rabu, 11 Maret 2020. Ini diungkapkan Rivanlee menanggapi pernyataan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud Md bahwa aparat TNI tak mungkin ditarik dari Papua.
Menurut dia, dialog yang baik tak akan terjadi jika pemerintah masih menggunakan pendekatan keamanan.
Rivanlee mengatakan, jika hanya berlandaskan pada ketakutan bahwa Papua akan melepaskan diri, negara akan menggunakan segala cara untuk 'menundukkan' Papua. Maka dari itu, dia berpendapat negara harus mengevaluasi pendekatan keamanan yang selama ini diterapkan.
"Sebagai langkah awal yang konkret, negara harus melakukan evaluasi total atas pendekatan keamanan yang selama ini dilakukan," kata dia.
Sebelumnya, Mahfud Md mengatakan TNI/Polri tak mungkin ditarik dari Papua. Mahfud mengatakan aparat harus tetap hadir di sana, tetapi menempuh pendekatan yang lebih manusiawi yakni pendekatan kesejahteraan.
"Bagaimana negara menarik TNI dan Polri dari situ, hancur. Ditarik sehari saja sudah hancur," katanya saat membuka Rapat Koordinasi Nasional Pengamanan Perbatasan Negara di Hotel Pullman Central Park, Jakarta, Rabu, 11 Maret 2020.
Mahfud berpendapat TNI dan Polri Harus hadir di sana. Namun, pendekatan terhadap masyarakat harus lebih manusiawi, seperti melakukan pendekatan kesejahteraan. "Tetap harus ada di situ."
BUDIARTI UTAMI PUTRI | AHMAD FAIZ