TEMPO. CO, Yogyakarta- Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menyoroti soal radikalisme dalam pengukuhanya sebagai guru besar di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada Kamis 12 Desember 2019.
"Indonesia dalam kurun terakhir seakan berada dalam darurat radikal dan radikalisme," ujar Haedar dalam pidato pengukuhannya yang bertema Moderasi Indonesia dan Keindonesiaan dengan Perspektif Sosiologi.
Haedar mengatakan radikalisme dan khususnya terorisme menjadi isu dan agenda penanggulangan utama. Isu itu lalu direspon dengan narasi waspada kaum jihadis, khilafah, wahabi, dan lain-lain disertai berbagai kebijakan deradikasasi meluas di ruang publik.
"Isu tentang masjid, kampus, BUMN, majelis taklim, dan bahkan lembaga Pendidikan Usia Dini (PAUD) terpapar radikalisme demikian kuat dan terbuka di ruang publik yang menimbulkan kontroversi nasional," ujarnya.
Haedar tak menampik, fakta sosial yang tidak terbantahkan adanya gerakan kaum radikalis-ekstirmis seperti Hizbut Tahrir, Al-Qaeda, Jamaah Islamiyah, dan berbagai kelompok Jihadis baik di tingkat global maupun nasional dan lokal telah menimbulkan banyak persoalan dan kekerasan dalam perikehidupan umat manusia di era mutakhir.
"Namun konsep dan aspek tentang radikalisme baik dalam pemikiran maupun kenyataan itu sesungguhnya bersifat universal atau berlaku umum, apakah di tingkat global atau internasional maupun domestik di Indonesia," ujarnya.
Ia mencontohkan peristiwa teror di Masjid Christchurch Selandia Baru yang menewaskan 49 orang di dunia internasional, tidak dilakukan orang Islam, bahkan sasarannya jamaah di masjid.
Demikian pula kejadian di tanah air seperti pembakaran masjid di Tolikara, penyerangan kelompok bersenjata di Wamena yang menewaskan 33 korban jiwa dan ratusan luka-luka diiringi ribuan warga eksodus dari bumi Papua, pembunuhan 31 pekerja pembangunan jalan di Distrik Yigi-Nduga Papua, dan gerakan separatis yang mengancam keamanan rakyat dan negara.
"Semuanya menunjukkan fakta sosial tentang radikalisme, lebih khusus ekstremisme dan terorisme yang tidak sederhana dan bermuara pada satu golongan," ujarnya.
Haedar pun mengatakan pemerintah maupun banyak komponen bangsa berkomitmen untuk bersama menolak segala bentuk paham dan tindakan radikal atau radikalisme yang bermuara pada kekerasan, makar, dan merusak kehidupan manusia dan lingkungannya.
"Radikalisme agama memang terjadi dalam kehidupan, sebagaimana radikalisme lainnya di belahan bumi manapun. Stigma radikalisme Islam itu begitu kuat dan kadang bersentuhan dengan Islamophobia, yang akarnya kompleks," ujarnya.
PRIBADI WICAKSONO