TEMPO.CO, Yogyakarta - Bupati Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Suharsono telah menegur Kepala Dusun Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Bantul yang mengeluarkan aturan diskriminatif yang melarang pendatang non-muslim masuk ke dusun tersebut.
Baca: Pelukis Ditolak Ngontrak di Yogyakarta, Tokoh: Kearifan Lokal
Suharsono menyebut aturan itu sebagai kesalahan besar karena melanggar Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila. "Indonesia bukan negara Islam. Konstitusi menjunjung Bhinneka Tunggal Ika. Aturan itu melanggar hukum," kata Suharsono kepada Tempo, Selasa, 2 April 2019.
Dia telah memerintahkan Kepala Kesatuan, Bangsa dan Politik (Kesbangpol) untuk bertemu camat, lurah, kepala dusun, tokoh masyarakat, dan pengontrak rumah.
Setelah pertemuan di Dusun Karet pada Senin, 1 April 2019, aturan tersebut langsung dicabut. "Dukuh minta maaf karena aturan itu tidak ada dasar hukumnya," kata Suharsono.
Saat ditanyakan mengapa Pemkab Bantul kecolongan dengan adanya aturan itu karena ternyata sudah dibuat sejak 2015, Suharso menyebut pada tahun itu dirinya belum menjabat sebagai bupati. Ia menjabat sebagai Bupati Bantul mulai Februari 2016.
Kepala Kesbangpol Bantul, Fatoni mengatakan dukuh dan tokoh masyarakat dusun setempat telah meminta maaf dan menyatakan khilaf ihwal aturan yang melanggar konstitusi itu. Aturan itu dibuat atas kesepakatan warga, tokoh masyarakat, dan toloh agama dengan alasan agar tidak muncul gesekan. Padahal, aturan itu membahayakan kerukunan umat beragama. Pemkab Bantul, kata Fatoni langsung mencabutnya. Masyarakat dusun itu tidak paham. "Kami akui pengawasan kurang. Saya ikut bertanggung jawab," kata Fatoni.
Dalam waktu dekat, Pemkab Bantul, kata dia, akan mengecek aturan-aturan di tingkat RT hingga desa-desa untuk memastikan tidak ada aturan serupa yang diskriminatif. Selepas mediasi dengan pengontrak, Kepala Desa Pleret Norman Afandi menawarkan solusi untuk mencari rumah kontrakan lain di desa tersebut yang membuat Slamet nyaman.
Tokoh masyarakat Dusun Karet, Pleret, Bantul, Yogyakarta menyebut aturan yang berisi penolakan non-muslim di dusun tersebut sebagai kearifan lokal yang disepakati warga setempat. Aturan yang dikeluarkan sejak 19 Oktober 2015 itu muncul dari masukan ketua RT, kepala dusun,tokoh masyarakat, dan tokoh agama. "Itu kebijakan wilayah, kearifan lokal. Lihatlah situasi di Aceh," kata tokoh masyarakat, Dalyanto. Dia merupakan warga Dusun Karet yang terlibat merumuskan aturan itu bersama tokoh masyarakat.
Baca: Pelukis di Yogyakarta Ditolak Ngontrak karena Menganut Katolik
Aturan yang melarang pendatang dari kalangan non-muslim dan aliran kepercayaan dikeluarkan oleh Lembaga Pemasyarakatan Desa Kelompok Kegiatan Dusun Karet Desa Pleret Kecamatan Pleret Bantul. Isinya tentang Persyaratan Pendatang Baru di Pedukuhan Karet. Syaratnya adalah pendatang baru harus Islam sesuai paham penduduk di dusun tersebut.
Penduduk Pedukuhan Karet juga keberatan menerima pendatang baru yang menganut aliran kepercayaan dan agama non-Islam. Bila pendatang baru tidak memenuhi ketentuan itu, maka ia mendapatkan sanksi berupa teguran lisan, tertulis, dan diusir dari Pedukuhan Karet.
Slamet Jumiarto, pelukis beragama Katolik ditolak masuk kampung ketika mengontrak rumah di Dusun Karet, Pleret. Dia sudah membayar biaya kontrak sebesar Rp 4 juta untuk satu tahun.
Slamet yang sudah tidak nyaman akhirnya meminta agar duit pembayaran kontrak segera dikembalikan oleh pemilik rumah, Suroyo agar dia bisa pindah secepatnya. Perupa asal Semarang ini telah melaporkan perlakuan diskriminatif tersebut kepada orang dekat Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X dan sekretaris Mahfud MD. Ia juga melaporkan larangan itu ke Polda DIY. "Saya berharap aturan yang melanggar Undang-Undang Dasar dan Pancasila itu dicabut. Jangan sampai ada di tempat lainnya," kata dia.
Slamet menyebut penolakan terjadi pada Sabtu, 30 Maret 2019. Ia menemui Ketua RT tersebut dan menyerahkan surat-surat administrasi sebagai pendatang. Kepada ketua RT dusun setempat ia menyebutkan dirinya beragama Katolik dan isterinya, Priyati beragama Kristen.
Ketua RT dusun tersebut lalu menemui tokoh masyarakat, Dalyanto. Setelah berunding ketua RT mengatakan kepada Slamet bahwa non-muslim tidak boleh masuk kampung. "Mereka menyatakan ada kesepakatan tertulis bahwa non-muslim tidak boleh tinggal di Dusun Karet," kata dia.
Slamet mengontrak di rumah seluas 11×9 meter persegi bersama isterinya dan dua orang anaknya. Lukisan berkarakter realis banyak dipajang di dinding rumah yang berdiri di lingkungan RT 8.
Slamet dan keluarga semula hendak mengontrak selama satu tahun di kampung tersebut. Tapi, ia terbentur dengan aturan kampung.
Dia sebelumnya berpindah-pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lainnya bersama keluarga di Yogyakarta. Ia menghitung sudah 14 kali berpindah kontrakan sejak 2001-2019. Perlakuan diskriminatif karena dia beragama Katolik baru terjadi kali ini.
Baca: Kata PSI Soal Kasus Pelukis yang Ditolak Ngontrak di Yogyakarta
Slamet mengunggah pengakuannya tentang penolakan tersebut melalui video yang beredar luas melalui pesan whatsApp. Dalam video itu, Slamet menyatakan dirinya dan keluarga ditolak mengontrak di kampung tersebut karena adanya aturan kampung yang menyebutkan non-muslim tidak boleh tinggal di sana.