TEMPO.CO, Jakarta - Partai Solidaritas Indonesia (PSI) DI Yogyakarta turut menyoroti peristiwa penolakan warga pendatang non-muslim yang hendak mengontrak di Dusun Karet, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul Yogyakarta.
Baca juga: Pelukis di Yogyakarta Ditolak Ngontrak karena Menganut Katolik
Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PSI DIY, Nur Sigit Nugroho menyesalkan terjadinya penolakan warga dusun itu terhadap Slamet Jumiarto, seorang pelukis hanya karena beragama non muslim (Katolik) untuk mengontrak rumah di dusun itu. Aturan yang membolehkan hanya warga muslim yang bisa tinggal atau membeli tanah di daerah itu sendiri dibuat sesuai kesepakatan warga di wilayah itu medio 2015 silam.
“Dasar penolakan warga (terhadap Slamet) tersebut adalah inkonstitusional,” ujar Sigit melalui keterangan pers Selasa 2 April 2019.
Sigit menuturkan aturan yang membolehkan warga muslim tinggal di dusun itu hanyalah berdasarkan aturan internal yang dibuat Kelompok Kegiatan (Pokgiat) Dusun Karet.
Meskipun aturan itu diklaim sebagai kesepakatan warga namun Sigit menilai hal itu bertentangan dengan hukum positif di atasnya, yaitu pasal 27 sampai pasal 34 UUD 1945, UU No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Sigit menuturkan penolakan warga non-muslim sebagai pengontrak rumah di dusun itu juga jelas bertentangan dengan hak-hak warga negara sesuai Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan UUD 1945.
Yang mengatur setiap warga negara Indonesia (WNI) berhak memeluk agama sesuai keyakinan, hak atas pekerjaan, penghidupan, kelangsungan hidup, tumbuh kembang, dan kepastian hukum yang adil.
Selain itu, Sigit menilai proses mediasi yang dilakukan Slamet dan pengurus dusun yang dilakukan tanggal 1 April 2019 di pendopo Dusun Karet bukanlah proses mediasi yang sebenarnya. Karena bersifat sepihak dan tidak memberikan pilihan lain kepada yang bersangkutan selain pergi dari rumah yang sudah dikontrak.
Atas temuan itu, PSI pun meminta instansi berwenang, termasuk Dinas Kependudukan, Kesbanglinmas (Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat), dan Kementerian Dalam Negeri melakukan pengawasan dan sosialisasi terhadap aturan-aturan internal di kampung-kampung lain di Indonesia.
Baca juga: Kevikepan Yogya: Ada Dua Peristiwa Sebelum Pemotongan Nisan Salib
Khususnya, kata dia, yang bersifat diskriminatif terhadap warga beragama/suku tertentu, karena bertentangan dengan Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan UUD 1945.
Sigit berharap peristiwa diskriminasi berdasarkan SARA tidak lagi terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta yang memiliki sejarah panjang kerukunan hidup antar umat beragama, suku dan golongan.
"PSI DIY siap memberikan bantuan pendampingan dan mediasi jika dibutuhkan," ujarnya.