Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Pelukis di Yogyakarta Ditolak Ngontrak karena Menganut Katolik

image-gnews
Pelukis beragama Katolik, Slamet Jumiarto di rumah kontrakan Dusun Karet, Pleret, Bantul, Yogyakarta. Slamet ditolak masuk kampung Dusun Karet karena beragama Katolik. TEMPO/Shinta Maharani
Pelukis beragama Katolik, Slamet Jumiarto di rumah kontrakan Dusun Karet, Pleret, Bantul, Yogyakarta. Slamet ditolak masuk kampung Dusun Karet karena beragama Katolik. TEMPO/Shinta Maharani
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta - Slamet Jumiarto, seorang pelukis di Yogyakarta ditolak mengontrak di Dusun Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Alasannya, Slamet merupakan seorang penganut Katolik.

Baca juga: Kevikepan Yogya: Ada Dua Peristiwa Sebelum Pemotongan Nisan Salib

Penolakan ini berdasarkan peraturan yang dikeluarkan pada 2015. Aturan itu melarang pendatang dari kalangan non-muslim dan aliran kepercayaan. Aturan dikeluarkan oleh Lembaga Pemasyarakatan Desa Kelompok Kegiatan Dusun Karet Desa Pleret Kecamatan Pleret Bantul tentang Persyaratan Pendatang Baru di Pedukuhan Karet. Syaratnya adalah pendatang baru harus beragama Islam.

Penduduk Pedukuhan Karet juga keberatan menerima pendatang baru yang menganut aliran kepercayaan dan agama non-Islam. Bila pendatang baru tidak memenuhi ketentuan itu, maka ia mendapatkan sanksi berupa teguran lisan, tertulis, dan diusir dari Pedukuhan Karet.

Aturan tertanggal 19 Oktober 2015, ditandatangani Kepala Dusun Karet Iswanto dan Ketua Kelompok Kegiatan Dusun Karet Ahmad Sudarmi.

Slamet, pengontrak rumah tersebut mengatakan penolakan terjadi pada Sabtu,30 Maret 2019. Ia menemui Ketua RT dan tokoh masyarakat kampung tersebut. "Mereka menyatakan ada kesepakatan tertulis bahwa non-muslim tidak boleh tinggal di Dusun Karet," kata dia di rumah kontrakannya di Dusun Karet, Selasa, 2 April 2019.

Slamet mengontrak di rumah seluas 11×9 meter persegi bersama isterinya, Priyati dan dua anaknya. Lukisan berkarakter realis banyak dipajang di dinding rumah yang berdiri di lingkungan RT 8.

Slamet dan keluarga semula hendak mengontrak selama satu tahun di kampung tersebut. Tapi, ia terbentur dengan aturan kampung. Tokoh masyarakat kemudian mengundang dia untuk datang dalam forum mediasi. Kesepakatannya adalah Slamet bisa tinggal selama 6 bulan. Tapi, Slamet menolaknya. "Lebih baik saya pindah dari kampung ini karena tidak nyaman," kata Slamet.

Perupa asal Semarang ini menyatakan aturan diskriminatif tersebut harus segera dicabut. Dia berharap tidak ada aturan serupa di kampung lainnya di Yogyakarta.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Slamet sebelumnya berpindah-pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lainnya bersama keluarga di Yogyakarta. Ia menghitung sudah 14 kali berpindah kontrakan sejak 2001-2019. Perlakuan diskriminatif karena dia Katolik baru ia rasakan kali ini.

Baca juga: Nisan Jemaat Tak Boleh Pakai Tanda Salib, Gereja Kotagede Pasrah

Slamet mengunggah pengakuannya tentang penolakan tersebut melalui video. Videonya beredar luas melalui pesan whatsApp. Dalam video itu, Slamet menyatakan dirinya dan keluarga ditolak mengontrak di kampung tersebut karena adanya aturan kampung yang menyebutkan non-muslim tidak boleh tinggal di sana.

Ketua Kelompok Kegiatan Dusun Karet Ahmad Sudarmi mengatakan aturan yang ditetapkan sejak 2015 itu hasil kesepakatan antara tokoh agama,tokoh masyarakat, dan warga kampung. "Aturan ada karena masukan tokoh agama," kata dia.

Tujuan dibuatnya aturan itu, kata dia supaya kampung tersebut aman dan damai. Mayoritas tokoh masyarakat meminta agar siapapun yang mengontrak maupun membeli rumah harus sesuai dengan kesepakatan yang tertulis dalam aturan itu.

Ahmad menyatakan dirinya tidak tahu bila aturan itu diskriminatif dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. "Itu kelalaian. Bisa jadi pelajaran agar ketika memutuskan sesuatu lebih hati-hati," kata dia.

SHINTA MAHARANI

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan

Respons Sultan HB X soal Penjabat Kepala Daerah yang Ingin Maju di Pilkada 2024

11 jam lalu

Gubernur DIY Sri Sultan HB X . Tempo/Pribadi Wicaksono
Respons Sultan HB X soal Penjabat Kepala Daerah yang Ingin Maju di Pilkada 2024

Sejumlah partai telah merampungkan penjaringan kandidat untuk Pilkada 2024 di kabupaten/kota Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).


Jogja Fashion Week 2024 Bakal Libatkan 100 Produsen Fashion dan 112 Desainer

11 jam lalu

Perhelatan menyambut Jogja Fashion Week 2024 Kamis (2/5). Tempo/Pribadi Wicaksono
Jogja Fashion Week 2024 Bakal Libatkan 100 Produsen Fashion dan 112 Desainer

Puncak acara Jogja Fashion Week akan diadakan di Jogja Expo Center Yogyakarta pada 22 - 25 Agustus 2024.


Pilkada 2024, Golkar DIY Jaring 39 Bakal Calon Kepala Daerah

1 hari lalu

Logo Partai Golkar
Pilkada 2024, Golkar DIY Jaring 39 Bakal Calon Kepala Daerah

Partai Golkar DIY telah merampungkan penjaringan bakal calon kepala daerah untuk Pilkada 2024 di lima kabupaten/kota


Jajal Dua Jenis Paket Wisata Naik Kano Susuri Hutan Mangrove Bantul Yogyakarta

3 hari lalu

Spot wisata Kano Maritim Mangrove Baros di Bantul Yogyakarta. Dok. Pemda DIY
Jajal Dua Jenis Paket Wisata Naik Kano Susuri Hutan Mangrove Bantul Yogyakarta

Wisatawan diajak menjelajahi ekosistem sepanjang Sungai Winongo hingga muara Pantai Baros Samas Bantul yang kaya keanekaragaman hayati.


Cari Lobster di Pantai Gunungkidul, Warga Asal Lampung Jatuh ke Jurang dan Tewas

3 hari lalu

Proses evakuasi korban jatuh ke jurang di tebing Pantai Ngluwo Gunungkidul, Ahad, 28 April 2024 (Dok. Istimewa)
Cari Lobster di Pantai Gunungkidul, Warga Asal Lampung Jatuh ke Jurang dan Tewas

Masyarakat dan wisatawan diimbau berhati-hati ketika beraktivitas di sekitar tebing pantai Gunungkidul yang memiliki tebing curam.


Jogja Art Books Festival 2024 Dipusatkan di Kampoeng Mataraman Yogyakarta

3 hari lalu

Kampoeng Mataraman Yogyakarta. Dok. Istimewa
Jogja Art Books Festival 2024 Dipusatkan di Kampoeng Mataraman Yogyakarta

JAB Fest tahun ini kami mengusung delapan program untuk mempertemukan seni dengan literasi, digelar di Kampoeng Mataraman Yogyakarta.


Mengenang Penyair Joko Pinurbo dan Karya-karyanya

4 hari lalu

Sastrawan Joko Pinurbo. Dok.TEMPO/Suryo Wibowo
Mengenang Penyair Joko Pinurbo dan Karya-karyanya

Penyair Joko Pinurboatau Jokpin identik dengan sajak yang berbalut humor dan satir, kumpulan sajak yang identik dengan dirinya berjudul Celana.


Tutup Sampai Juni 2024, Benteng Vredeburg Yogya Direvitalisasi dan Bakal Ada Wisata Malam

5 hari lalu

Salah satu sudut Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta yang tengah direvitalisasi hingga Juni 2024. Tempo/Pribadi Wicaksono
Tutup Sampai Juni 2024, Benteng Vredeburg Yogya Direvitalisasi dan Bakal Ada Wisata Malam

Museum Benteng Vredeburg tak hanya dikenal sebagai pusat kajian sejarah perjuangan Indonesia tetapi juga destinasi ikonik di kota Yogyakarta.


8 Hotel Murah Dekat Stasiun Lempuyangan, Harga Mulai 100 Ribuan

7 hari lalu

Jika Anda melancong di Yogyakarta, Anda bisa memilih menginap di hotel dekat Stasiun Lempuyangan yang murah. Ini rekomendasinya.  Foto: Booking.com
8 Hotel Murah Dekat Stasiun Lempuyangan, Harga Mulai 100 Ribuan

Jika Anda melancong di Yogyakarta, Anda bisa memilih menginap di hotel dekat Stasiun Lempuyangan yang murah. Ini rekomendasinya.


Alasan Sumpah Jabatan Presiden Indonesia Pertama Dilakukan di Keraton Yogyakarta

7 hari lalu

Presiden pertama RI, Sukarno (kiri) didampingi Wakil Presiden Mohammad Hatta, memberikan hormat saat tiba di Jalan Asia Afrika yang menjadi Historical Walk dalam penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung, 1955. Dok. Museum KAA
Alasan Sumpah Jabatan Presiden Indonesia Pertama Dilakukan di Keraton Yogyakarta

Di Indonesia sumpah jabatan presiden pertama kali dilaksanakan pada tahun 1949. Yogyakarta dipilih karena Jakarta tidak aman.