TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Genoveva Alicia menilai, tindakan polisi menangkap 537 orang sebagai buntut aksi 1 Desember 2018, yang merupakan peringatan 57 tahun kemerdekaan Papua, tidak dapat dibenarkan.
Baca juga: Demo Mahasiswa Papua di Surabaya, Nyaris Bentrok dengan Ormas
Sebab, ujar dia, aksi tersebut berlangsung damai sehingga tidak ada alasan untuk menangkap mahasiswa yang terlibat aksi. "Jika tuduhannya adalah makar maka itu salah kaprah. Sebab, makar dalam KUHP itu tindakannya harus merupakan tindakan penyerangan," ujar Genoveva saat dihubungi Tempo pada Ahad, 2 Desember 2018.
Sebanyak 537 orang yang ditangkap tersebut merupakan akumulasi dari penangkapan di Kupang, Ternate, Ambon, Manado, Makassar, Jayapura, Asmat, Waropen, dan Surabaya.
Pengacara mahasiswa Papua, Veronica Koman mengatakan dari 537 orang tersebut, 233 orang diantaranya merupakan mahasiswa Surabaya yang dibawa ke Polrestabes Surabaya dari asrama mereka, tengah malam kemarin.
Menurut Genoveva, makar merupakan delik yang sering digunakan untuk meredam gerakan-gerakan yang tidak sejalan dengan pemerintah. Penyebabnya, adalah simplifikasi kata "aanslag" dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) warisan Belanda yang diterjemahkan menjadi makar dan dipakai hingga sekarang.
Baca juga: Buntut Unjuk Rasa Papua, Polres Surabaya Tangkap 200 Mahasiswa
Padahal, menurut dia, terjemahan "aanslag" yang ada dalam KUHP lebih tepat diartikan sebagai serangan, ketimbang makar. "Jika dilihat yang dimaksud dengan anslaag, yang merupakan asal muasal pasal makar ini sebenarnya adalah penyerangan," ujar dia.
Jadi, ujar dia, untuk suatu perbuatan bisa dikatakan makar, memang harus benar-benar ada perbuatan menyerang yang membahayakan pemerintahan secara nyata. "Serangannya harus bersifat fisik, dalam kasus ini kan itu tidak terjadi," ujar dia.