Cerita Kursi Panas Hakim Konstitusi Patrialis Akbar
Editor
Dian Andryanto
Kamis, 26 Januari 2017 16:34 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Rekam jejak Patrialis Akbar, yang ditangkap KPK Rabu malam, 25 Januari 2017, sebagai Hakim Mahkamah Konsitusi, sejak awal tak mulus ceritanya. Tidak sedikit penentangan mengenai pengangkatan mantan Menteri Hukum dan HAM di Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) duduk di kursi panas hakim Mahkamah Konstitusi.
Presiden SBY pada akhir Juli 2013, menunjuk mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar, menggantikan Achmad Sodiki yang memasuki masa pensiun. Saat itu SBY menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 87/P/2013 tertanggal 22 Juli 2013.
Dua hakim konstitusi lainnya yang masih menjabat, M. Akil Mochtar dan Maria Farida Indrati, juga kembali didaulat menjadi hakim konstitusi untuk periode 2013-2018.
Baca juga:
Patrialis Akbar, Hakim Mahkamah Konstitusi Pilihan SBY
Patrialis Akbar Kena OTT KPK, Wapres Jusuf Kalla Prihatin
Penunjukan Patrialis memunculkan suara penolakan terhadap keputusan pemerintah. Indonesia Corruption Watch ICW), langsung menolak pengangkatan Patrialis. Emerson Yuntho, anggota Badan Pekerja ICW kala itu, menilai pemerintah tidak transparan dalam pengangkatan Patrialis. "Apalagi tidak melalui uji seleksi di Dewan Perwakilan Rakyat," ucapnya 31 Juli 2013 silam.
Rumah kos tempat Patrialis Akbar ditangkap tim KPK (Tempo/Amirullah)
Sementara pemerintah waktu itu tetap kukuh melanjutkan penunjukan politisi Partai Amanah Nasional itu. "Ini wakil pemerintah di Mahkamah Konstitusi, maka hak pemerintah menentukan," ujar Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto.
Baca pula:
Harta Patrialis Tersebar dari Bekasi, Jakarta, sampai Padang
Bahrain, aktivis YLBHI dengan lantang mengatakan, pemilihan Patrialis tidak sesuai dengan asas transparansi dan akuntabilitas dalam Undang-undang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Presiden juga diduga kuat tidak melaksanakan amanat UU MK, sehingga terjadi ketidaklengkapan syarat dan prosedur, dan melanggar proses perekrutan dalam pencalonan dan pengangkatan Patrialis sebagai hakim konstitusi.
Koalisi Masyarakat Selamatkan MK menghimbau presiden membentuk panitia seleksi calon hakim MK. Karena, pengangkatan Patrialis Akbar tidak melalui “saringan” pansel. “Pasal 19 menegaskan bahwa pemilihan hakim MK bersifat transparan dan partisipatif. Maksudnya, dipublikasikan di media. Sehingga masukan dari masyarakat bisa dimanfaatkan.”
Patrialis Akbar pernah dua kali mencalonkan diri jadi hakim dari partai politik. “Sekarang, Pak Patrialis menganggap dia perwakilan dari pemerintah. Siapa yang tidak tahu Pak Patrialis, dua periode dia anggota DPR. Kalau dia dari perwakilan pemerintah – bagaimana itu?” ujar Bahrain.
Kini, KPK mencokok Patrialis Akbar. Tak mulus ia duduk di MK, sampai ujung masa baktinya justru di tempat para hakim menjunjung "kebersihan"-nya.
S. DIAN ANDRYANTO
Simak:
Wiranto Sarankan Etnis Tionghoa Membaur ke Segala Profesi