TEMPO.CO, Jakarta - Sofyan Tan, 54 tahun, menilai Pemilu 2014 sebagai momentum strategis terkait aktivitas politiknya. Istri dan empat anaknya bahkan menganggap pemilu kali ini ujian terakhir Sofyan di pentas politik. “Bila saya gagal lagi, artinya politik bukan untuk orang Cina di Medan,” katanya, awal Maret lalu.
Dia mencalonkan diri lewat PDI Perjuangan dengan nomor urut dua dari daerah pemilihan Sumatera Utara 1, yaitu Kota Medan, Tebing Tinggi, Kabupaten Deli Serdang, dan Serdang Bedagai -butuh 180 ribu suara agar lolos ke Senayan.
Sofyan ikut dalam perebutan Wali Kota Medan periode 2010-2015. Ia berada pada urutan kedua. Saat kampanye pemilihan wali kota itu, ia berperang melawan isu rasisme dari kelompok lawan.
Sofyan lahir dari keluarga miskin yang beretnis Tionghoa. Namanya mencorong setelah mendirikan Yayasan Sultan Iskandar Muda, sekolah bertemakan pluralisme di Medan, pada 1987. Di sekolah itu terdapat rumah ibadah semua agama. Sekolah menerapkan pola anak asuh untuk murid yang 70 persen di antaranya berasal dari keluarga miskin. Kini juga sibuk dalam konservasi orangutan dan membangun Aceh pasca-tsunami 2004.
Diskriminasi adalah masalah sehari-hari yang dihadapi Sofyan muda selama ini. Akibat diskriminasi, ia ditolak malamar ke Universitas Sumatera Utara. Ia terpaksa kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Methodist Indonesia di Medan. Saat ingin meraih gelar dokternya pun ia empat kali tak lulus ujian negara karena bermata sipit.
TIM TEMPO | HARUN MAHBUB