TEMPO Interaktif, Jakarta - Peneliti senior Pusat Penelitian Sumber Daya Regional, Fadjar Ibnu Thufail, berpendapat negara seharusnya tak mengintervensi keyakinan dengan melansir sejumlah peraturan daerah tentang Ahmadiyah. Sebab, keyakinan bersifat spiritual dan tidak bisa diatur oleh penguasa.
"Kalau pun negara mau mengatur, bukan keyakinan, tapi perlindungan," ujarnya seusai diskusi di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta, Kamis (10/3).
Menurut dia, secara sosiologis, sebuah peraturan haruslah bisa diterima semua kelompok agar efektif. Kalau beleid cuma dimonopoli oleh satu pihak, berarti sistem pemerintahan Indonesia beralih kembali ke kediktatoran.
Mantan rektor Universitas Islam Nasional Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra, mengamini pendapat Fadjar. Ia menganggap peraturan daerah seperti itu cuma menambah komplikasi dalam sengkarut Ahmadiyah.
"Yang penting sekarang bukan Perda-nya, tapi penegakan hukum oleh polisi secara konsisten," ucapnya.
Sosiolog Ignas Kleden mengaku terheran-heran dengan cara pemerintah mengatasi kekerasan atas nama agama, termasuk dalam kasus Ahmadiyah. Menurut dia, negara modern seharusnya menggariskan negara sebagai satu-satunya institusi yang sah memakai kekerasan.
"Ini orang melakukan kekerasan, orang sudah bergelimpangan mati, dibilang belum cukup bukti. (Negara) lemah sekali menghadapi kekuatan paramiliter sipil," tuturnya.
Bunga Manggiasih