TEMPO.CO, Jakarta -Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane menilai jajaran Kepolisian Daerah Sumatera Utara lambat dan ceroboh dalam melindungi markasnya sehingga terjadi aksi teror di Polda Sumut. Dia mengatakan berdasarkan informasi yang diterima, setelah pulang dari Suriah, pelaku teror terlihat memasang logo ISIS di rumahnya. “Warga dan polmas setempat sudah melaporkannya ke polsek, tapi tidak ada tindakan atau antisipasi yang dilakukan polsek,” ujar Neta dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 27 Juni 2017.
Teror di Polda Sumut terjadi pada Ahad 25 Juni 2017 dini hari. Dua orang menyerang Pos Jaga III Markas Polda Sumut. Anggota Pelayanan Markas Polda Sumut Ajun Inspektur Satu Martua Sigalingging tewas ditikam dua orang yang diduga kelompok teroris tersebut. Martua saat itu tengah piket jaga pos bersama rekannya Brigadir E. Ginting. Namun karena dalam kondisi sakit, Martua minta izin untuk beristirahat di dalam pos.
Baca juga:
Serang Anggota Polda Sumut, Pelaku Teriak Allahu Akbar
Neta menuturkan rendahnya respons jajaran kepolisian terlihat juga saat kedua pelaku masuk ke lingkungan Polda Sumut. Ia mempertanyakan kenapa pelaku bisa dengan mudah masuk ke markas Polda Sumut. Apalagi diduga pelaku masuk dengan memanjat pagar. Selain itu ia mempersoalkan ketersediaan kamera cctv di lingkungan Polda Sumut. “Apakah para polisi yang berjaga di pos penjagaan itu sedang dalam keadaan tidur,” kata dia.
Menurut Neta, serangan di markas Polda Sumut patut menjadi pelajaran berharga bagi kepolisian untuk mengevaluasi semua sistem keamanan seluruh kantor di Indonesia. Misalnya ketersediaan kamera cctv, kondisi petugas yang tengah piket, serta ada tidaknya patroli untuk penjagaan markas. Jika terhadap markasnya saja tidak disiplin, ujar dia, bagaimana polisi bisa diharapkan disiplin berpatroli untuk menjaga keamanan masyarakat.
Baca pula:
Teror Polda Sumut, Polisi Tetapkan 3 Tersangka
Neta juga menanyakan pernahkah para kepala kepolisian daerah menyidak pada tengah malam ke pos-pos penjagaan kepolisian. “Jika para pemimpin tidka peduli, bagaimana jajaran bawah mau peduli,” ujar dia.
Menurut Neta, jajaran kepolisian harus memahami betul bahwa Sumatera Utara merupakan salah satu basis radikalisme di Indonesia. Sejarah menunjukkan gerakan radikal yang ekstrim sudah berkembang sejak lama di wilayah itu. Ia mengatakan pada 1970-an kelompok radikal juga pernah menebar teror. Sejumlah rumah ibadah, hotel, dan gedung bioskop di Sumatera Utara diledakkan dengan bom.
Artinya, jajaran Polda Sumut tidak boleh lengah terhadap aksi, semacam teror di Poda Sumut ini. Apalagi dengan serangan yang hanya menggunakan pisau dapur hingga menewaskan satu anggota. “Tidak hanya memprihatinkan, tapi juga sangat memalukan Polri,” kata Neta.
DANANG FIRMANTO