TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Ade Komarudin menilai, peristiwa bom bunuh diri di Markas Polres Kota Surakarta, Selasa, 5 Juli 2016, adalah momentum untuk membahas kembali revisi Undang-Undang Anti-Terorisme. Meski, menurut dia, tanpa insiden itu, DPR dan pemerintah bakal tetap melanjutkan pembahasan revisi UU tersebut.
"Tentu soal terorisme menyangkut banyak hal terkait dengan ideologi, pencegahan, pendidikan, dan agama. Kami harus mengakomodasi kepentingan masyarakat," kata Ade seusai salat Id di Masjid Istiqlal, Jakarta, Rabu 6 Juli 2016.
UU Anti-Terorisme, kata Ade, adalah agenda bersama pemerintah dan DPR yang masih harus disempurnakan. Menurut dia, isi setiap pasal undang-undang harus bisa menindak terorisme secara langsung. Pencegahannya pun secara struktural dan intelektual. "Agar tidak terjadi tindakan terorisme," ujar Ade.
Ade juga mengapresiasi kepolisian mengantisipasi teror, seperti di Surakarta. Menurut dia, intelijen harus berfungsi dengan baik agar kejadian serupa tidak terjadi lagi. "Kita harus melakukan tindakan pencegahan secara ideologis dan intelektual. Pendidikan berpengaruh. Tidak mungkin mau meledakkan diri kalau doktrin tidak kuat," ujarnya. "Orang siap mati sahid itu konsep yang menjadi andalan gerakan terorisme," ucapnya.
Pada Selasa, 5 Juli 2016, sehari sebelum Hari Raya Idul Fitri 1437 Hijriah, pelaku teror bernama Nur Rohman menerobos penjagaan petugas kepolisian di Markas Polres Kota Surakarta. Setelah menerobos, ia meledakkan diri sekitar pukul 07.30. Pelaku tewas seketika.
Januari lalu, pemerintah dan DPR telah sepakat merevisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Kesepakatan terjadi pascabom bunuh diri terjadi di kawasan Thamrin, Jakarta. Namun kalangan aktivis hak-hak asasi manusia (HAM) mengkhawatirkan revisi akan berpotensi mengekang kebebasan sipil dan kebebasan berpendapat, bahkan memberangus kalangan yang dianggap tidak sejalan dengan pemerintah.
ARKHELAUS W