TEMPO.CO, Jakarta - Persidangan pemeriksaan Ketua DPR Setya Novanto yang dijalankan secara tertutup meninggalkan polemik. Sejak sebelum dimulainya sidang hingga berakhir pada Senin, 7 Desember 2015, perdebatan mengenai jalannya sidang yang akan dilakukan terbuka atau tertutup terus terjadi.
"Ada yang mulai dengan bermain tidak benar dengan mengatakan ke publik bahwa semua fraksi, semua anggota MKD, setuju untuk tertutup. Saya katakan itu tidak benar," kata Akbar Faizal, salah satu anggota MKD, sehabis sidang di ruang rapat MKD, Senin, 7 Desember 2015.
Menurut dia, ada tujuh fraksi di Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang menolak melakukan sidang tertutup. Akbar juga menjelaskan, dalam persidangan tersebut, keputusan sidang tertutup diambil bukan berdasarkan voting. "Enggak voting, langsung diketuk palu tadi (oleh pemimpin sidang), makanya saya marah (dalam forum) tadi," ujar politikus Partai Nasional Demokrat ini.
Sidang ini dipimpin Wakil Ketua MKD Kahar Muzakir, yang merupakan politikus Partai Golkar. Ia dipilih lantaran Sufmi Dasco Ahmad, yang seharusnya menjadi pemimpin, menolak karena alasan sakit.
Akbar juga mengatakan, walau sudah mendapat banyak dukungan, ia gagal meyakinkan Mahkamah untuk menjalankan sidang secara terbuka. Padahal, menurut dia, penawaran terhadap hal ini dilakukan dua kali dalam persidangan. "Saya, bersama Pak Syarifuddin Sudding, Pak Guntur Sasono, Pak Darizal, dan beberapa lagi lainnya, meminta maaf. Tapi inilah realitasnya," tuturnya.
Hingga saat ini, walau sudah selesai memeriksa Setya, MKD masih melakukan rapat internal. Rapat ini akan menentukan agenda pemeriksaan berikutnya berdasar keterangan Setya pada sidang itu.
Sebelum Setya, MKD sudah memeriksa Sudirman Said sebagai pelapor dan Marouf Sjamsoeddin sebagai saksi. Masih ada nama-nama seperti Muhammad Riza Chalid dan Luhut Binsar Pandjaitan yang juga disebutkan terlibat dalam rekaman.
EGI ADYATAMA